Langsung ke konten utama

Refleksi Harlah PMII ke-63; Diversitas Kader sebagai Persoalan Kaderisasi


Kader yang hanya berdiam diri atau berpangku tangan tanpa melakukan sesuatu adalah sebuah penghinaan atas eksistensi PMII. Hati, pikiran, dan fisik setiap kader harus selalu bergerak untuk memikirkan perjuangan dan kebermanfaatan kepada orang banyak.

17 April 1960 merupakan tahun bersejarah atas lahirnya organisasi anak dari Nahdlatul Ulama yang dideklarasikan di Surabaya. Namanya adalah Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia atau yang disingkat PMII. Pada hari ini, 17 April 2023, PMII genap berusia 63 tahun. Tiada ungkapan lain kecuali rasa syukur alhamdulillah kepada Allah SWT bahwa PMII masih terus eksis menghiasi perjalanan bangsa Indonesia, generasi ke generasi bergantian sesuai dengan dinamikanya.

Selama 63 tahun, medan perjuangan PMII berada dalam pergelutan rezim demi rezim yang terus bergantian, mulai dari orde lama, orde baru, reformasi, pasca refomasi, hingga sekarang. Akan tetapi, sebagai organisasi pergerakan dan kaderisasi, PMII secara berkelanjutan memiliki garapan yang sama yakni multi sektoral, mulai dari ekonomi, politik, pendidikan, masyarakat, dan sebagainya. Menurut Fathullah Syahrul, Bendahara bidang Kaderisasi Nasional PB PMII, medan perjuangan PMII tidak sekadar pada tataran itu saja karena pada hari ini semakin kompleks dengan bertambahnya kecanggihan teknologi.

PMII dituntut untuk memanfaatkan kecanggihan teknologi dalam medan perjuangannya supaya sejalan dengan yang pernah disampaikan oleh Abdullah Syukri, Ketua Umum Pengurus Besar PMII, yakni transformasi teknologi. Teknologi harus menjadi sasaran empuk bagi warga pergerakan untuk mendongkrak kemajuan bangsa Indonesia menuju kancah dunia. Hal ini lagi lagi sesuai dengan visi Abdullah Syukri, PMII Maju dan Mendunia.

Tidak ada alasan bagi generasi hari ini terutama yang masih aktif di struktural PMII – mulai dari Pengurus Rayon hingga Pengurus Besar – untuk tidak berjuang. Selemah-lemahnya menjadi kader adalah memikirkan PMII, meskipun belum bisa mengimplementasikannya. Karena bagi saya, jika seorang kader hanya berdiam diri atau berpangku tangan tanpa melakukan sesuatu adalah sebuah penghinaan atas eksistensi PMII. Hati, pikiran, dan fisik setiap kader harus selalu bergerak untuk memikirkan perjuangan dan kebermanfaatan kepada orang banyak.

Sebagai refleksi awal, kita bisa melihat banyak tokoh penting yang sudah berjuang diberbagai medan perjuangan baik nasional maupun internasional. Tidak hanya soal mereka yang berhasil pada arena birokrasi, politik, akademisi, PMII juga telah melahirkan banyak tokoh yang berjuang sebagai aktivis kemanusiaan, ngopeni masyarakat akar rumput. Mereka adalah kader PMII yang sudah matang dalam menjawab segala persoalan-persoalan berbangsa dan bernegara serta beragama. Tentu, tidak semudah membalikkan telapak tangan, mereka adalah kader yang sudah dibekali dengan peralatan intelektual sehingga mampu membaca dinamika dan kontradiksi-kontradiksi sosial yang terjadi.

Kompleksnya medan perjuangan yang harus dihadapi oleh PMII tidak lain untuk membuatnya lebih survive dan tangguh. Selain pada pengembangan diri pribadi, segala persoalan memang harus dijawab guna mengejawantahkan tujuan dari organisasi PMII. Mendampingi masyarakat dan menata bangsa Indonesia merupakan salah satu dari poin penting didalam tujuannya. Sahabat-sahabat bisa lihat tujuannya sebagaimana termaktub dalam Anggaran Dasar bab IV pasal 4.

Tujuan PMII

“Terbentuknya pribadi muslim Indonesia yang bertakwa kepada Allah SWT, berbudi luhur, berilmu, cakap, dan bertanggung jawab dalam mengamalkan ilmunya serta komitmen dalam memperjuangkan cita-cita kemerdekaan bangsa Indonesia.”

Tujuan PMII diatas perlu ditelaah supaya dapat dipahami secara holistik dalam rangka memberikan arah gerak kepada setiap kadernya. Adanya tujuan tersebut mengindikasikan bahwa seluruh arah gerak intelektual dan sosial warga pergerakan, sudah seharusnya untuk dilandaskan pada seorang Muslim Indonesia yang selalu menjaga kualitas takwanya kepada Allah SWT. Hal ini tentu sudah sesuai dengan Alquran surah al-Hujurat ayat 13. Ketakwaan tentu harus dibarengi dengan akhlak dan ilmu pengetahuan.

Penyandingan akhlak dan ilmu pengetahuan bertujuan untuk menjalankan tugas manusia sebagai khalifah fil ardh. Tugas tersebut merupakan manifestasi manusia untuk menghamba kepada Allah SWT (‘abdullah). Nyambung dengan poin selanjutnya, yakni kemampuan untuk bertanggung jawab dalam setiap kegiatan yang sejalan dengan kemanusiaan dan keadilan. Kader PMII juga harus menjadi pelopor perbaikan demi terciptanya tatanan masyarakat yang dikaruniai baldatun thoyyibatun wa rabbun ghafur dengan disiplin ilmu pengetahuan yang baik dan benar.

Masih dalam telaah tujuan PMII, setiap kader harus juga mampu mewujudkan dan mengamalkan ilmunya untuk kemajuan dan perkembangan umat manusia. Kader PMII harus selalu berpegang teguh pada cita-cita kemerdekaan bangsa Indonesia, yakni melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Meskipun PMII merupakan organisasi yang berada pada level pendidikan tinggi, namun tidak boleh berkutat pada garapan elite saja. PMII harus mampu mengintegrasikan antara keagamaan dan nasionalisme (sebagaimana tercantum dalam tujuan PMII diatas) untuk berdialektika dengan masyarakat akar rumput. Kader PMII harus mempunyai kedekatan emosional yang bagus, meningkatkan pathos, supaya mampu berempati terhadap keluh kesah masyarakat sekitar.

Kader melalui organisasi PMII kudu mempunyai komitmen untuk melihat lebih jernih terhadap persoalan mendasar yang mengintai masyarakat. Selama ini, kami semua sudah tentu banyak tahu terkait persoalan yang merugikan masyarakat, sebut saja perampasan lahan, penambangan, tidak meratanya ekonomi, dan lain sebagainya. Beberapa contoh tersebut akan berdampak pada kesenjangan sosial, konflik sosial, dan dampak terhadap psikis masyarakat. Dalam hal ini, kader PMII harus hadir untuk mengadvokasi menuju jalan yang benar, supaya masyarakat tidak melulu dibodohi oleh kalangan elite yang tidak punya moral dan rasa kemanusiaan.

Refleksi Harlah ke-63 PMII

Dalam kesempatan refleksi harlah ke-63 tahun ini, saya akan mencoba sedikit memberikan tanggapan minimal sebagai urun rembuk dari saya yang masih aktif sebagai pengurus di struktural cabang. Sebenarnya ada yang mengendap bahkan mulai sirna dalam dunia gerakan mahasiswa khususnya dalam lingkaran PMII. Hal ini karena kebanyakan dari mereka yang hanya pintar dalam berwacana saja. Kalau kata teman-teman dulu ketika sejak di Komisariat, mahasiswa sekarang tak rokaroan, bennyak apacapa malolo. Tipologi kader yang seperti ini hanya selesai pada tahap retorika saja, jarang yang bisa mengimplementasikannya untuk lebih dekat kepada kepentingan masyarakat, mengawal proses beragama, berbangsa, dan bernegara.

Krisis yang terjadi pada tubuh PMII bersama kadernya adalah defisit literasi. Jarang ditemukan dari melimpahnya kader PMII yang serius dan intens menekuni bidang tersebut. Masih minim sekali karya-karya dari para kader PMII yang potensial untuk dijadikan rujukan dari kompleksitas kebutuhan masyarakat terutama karya yang memakai bahasa “mudah dipahami oleh masyarakat awam.” Persoalan media dan teknologi yang hari ini menjadi program unggulan dari PB PMII memang sangat minim. Jarang ditemui narasi-narasi keislaman dalam menyuarakan Islam moderat tanpa kekerasan, bahkan juga jarang ada narasi-narasi yang membela kaum-kaum mustad’afin.

PMII sudah seharusnya menyikapi dengan serius persoalan perkembangan media dan teknologi. PMII harus membersamai Nahdlatul Ulama’ dalam mengampanyekan Islam Nusantara untuk menghindari atau menangkis paham-paham radikal-anarkis dan fanatisme agama. PMII dengan ribuan kadernya harus masuk secara mendalam di dunia maya dengan berbekal pengetahuan yang holistik supaya mampu menyeimbangi segala persoalan yang akan merongrong keberadaan Indonesia. Diversitas Indonesia harus selalu dijaga dengan pendekatan yang kontekstual dan komunikatif.

Menjawab segala persoalan diatas, para kader PMII yang berada distruktural harus lebih giat dan serius mendampingi para kader yang semakin hari semakin kompleks. Kader PMII bukan hanya dari kalangan pesantren dan kampus agama seperti IAIN dan UIN, namun semakin tahun berbagai kalangan turut terekrut di dalamnya seperti di kampus umum. Kultur hibrida menjadi warna baru bagi PMII, untuk itu teramat penting ilmu pengetahuan dan keagamaan yang harus diintegrasikan bagi kehidupan berbangsa dan beragama.

Selain dari persoalan diatas, kami juga teringat dengan banyak kesempatan ngumpul bareng dengan kader yang ada di rayon dan komisariat. Ketika melakukan evaluasi, persoalan yang disampaikan tidak jauh berbeda, hanya berkutat pada mis komunikasi, pengurusnya banyak yang menghilang, dan kadernya momentuman saja. Selain itu, sekelumit persoalan lama yang tidak pernah terselesaikan yang terjadi di PMII berbasis Pesantren adalah adanya kesenjangan atau tidak sejalannya antara kader pondok dengan kader luaran.

Kami akan mencoba memberikan jalan keluar meskipun belum tentu mujarab untuk mengatasinya. Sebagai seorang yang berada di struktur – terutama para pimpinan – harus menjadi panutan dalam berbagai hal. Semisal para Ketua ingin kadernya melakukan ‘A’ maka ia harus sanggup memulai terlebih dahulu untuk menjadi percontohan. Karena kita tidak bisa serta merta menyuruh atau menginstruksikan tanpa memberikan contoh konkrit pada pribadi kita.

Kami pernah mendatangi salah satu rayon dibawah naungan Komisariat Universitas Nurul Jadid, duduk bareng bersama pengurusnya, dan mereka mengadu bahwa kadernya suka ghaib, diberikan tanggung jawab tidak pernah diselesaikan, disuruh nulis malah menghilang. Kejadian seperti ini tidak lantas bahkan haram menyalahkan kadernya yang kurang berpartisipasi aktif. Sebagai pengurus harus rajin-rajin instrospeksi diri, karena dari merekalah segala permasalahan bersumber. Seorang pimpinan harus memiliki aspek ethos supaya ia bisa diikuti oleh bawahannya atau kader yang dipimpinnya.

Kami ingin mengutip salah satu perkataan atau quote dari ketua umum pertama PMII, Mahbub Djunaidi, tentunya akan sangat memberikan tamparan hebat kepada kita yang berada di struktur. “Jika guru pipis berdiri, maka jangan heran kalau murid pipis berlari.” Perkataan tersebut terdengar atau terlihat sederhana, tapi sudah cukup memberikan sentilan kepada kita semua sebagai generasi penerusnya. Kita harus serius menelaah quote tersebut, supaya tertanam kuat dibenak dan usahakan selalu terngiang-ngiang ditelinga kita.

Pola kaderisasi yang perlu diterapkan adalah percontohan atau keteladanan. Tanpa dimulai dari seorang pimpinan dan pengurus dengan menulis dan mengajarkan pentingnya berkarya, maka kata Mahbub jangan pernah heran jika kedepannya tidak akan ditemukan karya-karya masyhur yang terlahir dari pergolakan pemikiran dan keringat tangan kader PMII. Kalau tradisi lama masih dilanjutkan, mengajari sekadar tradisi lisan semata, tradisi menulis kedepannya tidak akan akrab sebagai ruh atau nafas dari warga pergerakan.

Mahbub Djunaidi yang namanya sering kita bangga-banggakan mungkin akan marah, karena kadernya dengan bangga mengatakan bahwa PMII punya tokoh besar sekaliber Mahbub, namun disisi lain juga dengan bangga menciderai Mahbub dan PMII. Bagaimana tidak, Mahbub hanya dibanggakan, sedangkan kiprah dan perjuangannya tidak pernah diselami oleh para penerusnya, bahkan membaca karya-karya Mahbub pun mungkin tidak pernah sama sekali.

Nama besar Mahbub Djunaidi semakin besar takkala ia mendapat julukan sang pendekar pena, diagungkan dimana-mana terutama dikalangan para jurnalis, pemuda, dan tokoh gerakan. Sedangkan para penerusnya di PMII malah tidak pernah memegang pena, tradisi menulis kian punah dan tumpul, karena sudah tergantikan dengan adanya handphone yang tidak dimanfaatkan dengan baik. Padahal jika hendak kreatif, kritis, dan meneladani Mahbub, pakai handphone seharusnya lebih nyaman untuk menghasilkan karya.

Apabila Mahbub masih hidup sampai sekarang, terus mengawasi kinerja kader dan penerusnya, mungkin beliau akan sangat resah ataupun menangis melihat keadaan yang ada. Ia akan segera melihat kader wara wiri, ke barat ke timur gak jelas, ngukur jalan sepanjang Anyer ke Panarukan, lebih banyak ngopi daripada berdiskusi dan menuliskan sebuah karya. Kepengurusan demi kepengurusan, angkatan demi angkatan terus bergantian hidup dan besar di PMII, tapi apakah (minimal dalam satu tahun) mampu menerbitkan karyanya? Sebuah karya tidak diperlu digarap sendirian, bisa juga antologi (digarap bareng-bareng), dan asalkan bukan juga buku tuntunan salat lengkap dan buku yasin dan tahlil.

“Bukannya organisasi sebelah sudah banyak menghasilkan buku atau bahkan sudah tidak terhitung lagi. Kalau mereka bisa, kenapa kita tidak?” Tanya seorang Kader penasaran.

Supaya kita bisa meneruskan perjuangan dan tradisi para pendahulu di PMII, akan sangat baik jika mempelajari dan memahai sejarah. Kita harus tahu malu sebagai orang yang tengah meneruskan estafet pergerakan lalu tidak tahu bagaimana jalan panjang sejarah PMII hingga menjadi besar dengan kadernya yang melimpah seperti sekarang. Hal ini juga dikarenakan sejarah di PMII sangat lemah, terbukti dengan minimnya buku yang dihasilkan dari jerih payah tenaga dan pemikiran para kadernya.

Tentu akan banyak kader yang protes bahwa buku-buku karya kader PMII juga terbilang banyak. Akan tetapi, siapa yang berani menuliskan, bukankah selama ini hanya para kader yang tengah berada di Jakarta atau setidak-tidaknya sedang berproses di PKC dan PB. Bagaimana dengan kemampuan menulis pengurus rayon, komisariat, hingga cabang? Hal ini menjadi PR bagaimana kita sudah seharusnya untuk menghimpun dan menuliskan sejarah-sejarah PMII yang masih banyak berserakan mulai tingkatan lokal hingga nasional. Gunanya untuk apa? Tentu untuk menjadi warisan intelektual bagi generasi penerus supaya mereka mampu menangkap bagaimana perjuangan dan dinamika pergolakan PMII dari zaman ke zaman, biar mereka juga akrab dengan khazanah dan ruh pergerakan yakni literasi.

PMII harus lebih aktif dan komunikatif supaya eksistensinya tetap terawat. Tidak mudah tergerus oleh kerasnya zaman layaknya komunitas atau organisasi yang tidak jelas yang sering muncul belakangan ini. Melimpahnya kader secara kuantitas harus dipertautkan dengan pengembangan kualitas kader. Pola kaderisasi harus seimbang antara pengembangan intelektual berbasis diskusi dengan penguasaan teknologi. Media PMII harus lebih digalakkan untuk menampung tulisan kader, meminjam istilahnya ketua umum Abdullah Syukri, mampu menciptakan opini tandingan.

Mumpung menulis dalam momen harlah, saya teringat apa yang pernah disampaikan oleh Ketua Umum PB PMII masa khidmat 2008-2011, Muhammad Rodli Kaelani. “Jika hanya maknai hari lahir PMII dengan biasa-biasa saja, maka berkhidmat di PMII di hari-hari selanjutnya hanya biasa-biasa saja, dan pasca alumni menata kehidupan cukup menjadi manusia biasa. Sebaliknya, jika dimaknai hari lahir PMII dengan luar biasa, maka berkhidmat di Pergerakan maupun pasca alumni akan menjadi manusia luar biasa dan menata kehidupan sosial dengan penuh kemanfaatan.”

Jadi, sudah sewajarnya sebagai warga pergerakan tidak melulu memaknai harlah sebagai hal biasa, ceremonial semata, dan potong tumpeng saja. Harlah PMII harus dimaknai dalam rangka mencerdaskan otak untuk mengukir prestasi dan menyugesti kehidupan masa depan. Harlah PMII harus dijadikan refleksi supaya kader hari ini mampu meneladani para pendahulu secara serius bukan sebatas romantisme sejarah saja. Saatnya menjadikan momen harlah sebagai perubahan secara mendasar bagaimana kader PMII mampu berperan aktif dimana saja dan kapan saja. Kader yang siap pakai dalam situasi dan kondisi apapun.

Saya ingin menegaskan dalam tulisan ini selain selalu saya sampaikan pada pertemuan-pertemuan forum PMII. “Kader PMII tidak boleh menjadikan suatu keadaan sebagai alasan paling keren untuk menyerah pada situasi yang tidak memungkinkan. Seharusnya sebagai kader harus mampu menjadikan sebuah hambatan sebagai tantangan untuk terus maju. Jika ada rintangan, jangan sampai mundur, tapi berbeloklah lalu maju kembali.”

Zaman yang semakin maju dengan indikator media dan teknologinya harus mampu dijawab dan dijalani oleh warga pergerakan. Dengan modal intelektual yang sudah mumpuni yang ditempa dalam setiap diskusi follow up, diskusi fakultatif, dan jenis diskusi lainnya sudah saatnya untuk dibahasakan ulang menjadi narasi yang menarik untuk dibaca dalam lintasan dunia maya. Kader PMII harus melek teknologi yang dalam kedepannya akan menjadi sentrum perjuangan dalam menyalurkan gagasan-gagasan kontekstual untuk kemajuan Indonesia dan PMII.

Kata Mahfud Sunarjie, Jurnalis alumni PMII, tanpa narasi diberbagai media, eksistensi PMII hanya akan berada dalam hati saja. Bukti konkret hari ini yang menunjukkan bahwa PMII masih aktif berperan dan mengawal serta mengisi keberlangsungan Indonesia selain dalam dunia nyata harus diseimbangi dengan eksistensi dunia maya. Ingat! PMII tidak pernah lahir dari ruang hampa tanpa tujuan dan landasan yang jelas, tetapi terlahir atas kejernihan hati dan kejelihan pemikiran untuk menjawab tantangan zaman yang terus dipupuk dengan secercah harapan yang terorganisir.

Akhir kata, saya mengucapkan selamat harlah PMII ke-63. Marilah berdoa secara serius. Lalu lantangkan dengan semangat pengabdian dan gemakan dengan penuh kegembiraan. Lantunkanlah dengan bangga “Inilah kami wahai Indonesia. Tunas yang terus bersemi, dan kader yang terus tumbuh subur. Inilah kami wahai Indonesia. Ilmu dan bakti kuberikan.”

Penulis: Abdur Rahmad (Pelayannya para pelayan kader)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Strategi komunikasi dalam membangun jaringan (berpikir strategis dan bertindak taktis)

  Perjalanan panjang dalam dunia kampus, banyak orang yang mengikrarkan dirinya sebagai mahasiswa, tentu tidak akan lepas dengan berbagai persoalan, baik internal maupun eksternal. Faktor internal bisa dikategorikan dengan kurang keberanian pada diri sendiri, keluarga yang kurang mendukung, dan lingkungan yang kurang bersahabat. Sedangkan eksternal bisa terjadi pada semua   persoalan yang ada dalam dunia akademik, seperti kurang respect terhadap orang baru, sulit mencerna dunia luar, dan lain sebagainya. Persoalan yang sedemikian banyak, sudah tidak bisa dihitung dengan jari, ternyata cukup mampu ditepis dengan keaktifan di organisasi. Kehadiran organisasi sebagai salah satu pilihan bagi mahasiswa untuk mengembangkan dirinya, sudah tidak perlu diragukan. Mulai dari tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi, mucul banyak organisasi dengan latar belakang kemunculan dan tujuannya, diperkenalkan kepada kita sebagai elemen dari instansi pendidikan tersebut. Di era sekarang, yang penu

Perjuangan Perempuan Di Ranah Domestik Dalam Pandangan Feminisme Eksistensial Simone De Beauvoir

simone de beauvoir Perjuangan perempuan untuk menuntut hak-hak mereka sebagai manusia seutuhnya merupakan perlawanan terhadap pembagian kerja yang menetapkan kaum laki-laki sebagai pihak yang berkuasa dalam ranah publik. Maka dari itu, munculah feminisme sebagai gerakan sosial yang pada mulanya berangkat dari asumsi bahwa pada dasarnya kaum perempuan ditindas dan dieksploitasi, di mana melaluinya pula (feminisme) perempuan berusaha untuk mengakhiri penindasan dan eksploitasi tersebut. Feminisme menyoroti politik seksualitas dan domestik baik pada level personal maupun level publik. Gerakan perempuan secara perlahan tumbuh menjadi suatu kekuatan politik yang besar, menyebar ke seluruh Eropa dan Amerika Utara, dan kemudian melahirkan aliran feminis radikal yang memperjuangkan aspirasinya melalui jalur kampanye serta demokrasi untuk membangun ruang dan kebudayaan perempuan. Selanjutnya, feminis sosialis lebih menekankan pada pembangunan aliansi dengan kelompok-kelompok dan kelas-kelas t

Catatan untuk seorang perempuan yang berani berdiri diatas kakinya sendiri

Kartini, sosok perempuan hebat masa lalu Nama dan perjuangannya adalah sesuatu yang baru Perempuan cerdas dalam pusaran orang-orang yang tidak tahu Bergema, menentang budaya dan aturan yang kaku   Jiwanya memberontak terhadap sejarah yang mulai membeku Berdiri dan berlari, melawan arus untuk lebih maju Semuanya merupakan warisan besar untuk perempuan abad 21 Untuk itu, sebuah refleksi, apakah kita mampu untuk meniru   Perempuan abad 21, harus banyak memberi kontribusi Di kala semua orang terpaku pada ajaran yang sudah basi Perempuan layaknya kartini yang selalu menginspirasi Cahaya terang untuk semua kalangan lintas generasi Ia yang tidak mudah untuk didominasi oleh para laki-laki   Karya, adalah modal utama perempuan masa kini Cerdas dan visioner adalah sebuah visi Akhlakul karimah sebagai penunjang untuk lebih mumpuni Menuju perempuan berdaya dan mandiri yang punya harga diri Layaknya seorang ibu bernama kartini   Wahai para kartini baru, j