62 tahun lalu, 17 April 1960,
merupakan tahun bersejarah atas lahirnya organisasi anak dari Nahdlatul Ulama
yang dideklarasikan di Surabaya. Namanya adalah Pergerakan Mahasiswa Islam
Indonesia atau yang disingkat PMII. Pada hari ini, 17 April 2022, PMII genap
berusia 62 tahun. Alhamdulillah, kami selalu bersyukur kepada Allah SWT bahwa
PMII masih terus eksis menghiasi perjalanan bangsa Indonesia, generasi ke
generasi bergantian sesuai dengan dinamikanya.
Selama 62 tahun, medan perjuangan PMII
berada dalam pergelutan rezim demi rezim yang terus bergantian, mulai dari orde
lama, orde baru, reformasi, pasca refomasi, hingga sekarang. Namun, sebagai
organisasi pergerakan dan kaderisasi, PMII secara berkelanjutan memiliki
garapan yang sama yakni multi sektoral, mulai dari ekonomi, politik,
pendidikan, masyarakat, dan sebagainya. Akan tetapi, tidak sekadar pada tataran
itu saja, menurut Fathullah Syahrul, Bendahara bidang Kaderisasi Nasional PB
PMII, medan perjuangan PMII semakin komplek dengan bertambahnya kecanggihan
teknologi.
PMII dituntut untuk memanfaatkan
kecanggihan teknologi dalam medan perjuangannya supaya sejalan dengan yang
pernah disampaikan oleh Ketua Umum Pengurus Besar PMII, Abdullah Syukri,
transformasi teknologi. Teknologi harus menjadi sasaran empuk bagi warga
pergerakan untuk mendongkrak kemajuan bangsa Indonesia menuju kancah dunia. Hal
ini lagi lagi sesuai dengan visi Abdullah Syukri, PMII Maju dan Mendunia.
Tidak ada alasan bagi generasi hari
ini terutama yang masih aktif di struktural PMII – mulai dari Pengurus Rayon
hingga Pengurus Besar – untuk tidak berjuang. Selemah-lemahnya menjadi kader
adalah memikirkan PMII, meskipun belum bisa mengimplementasikannya. Karena bagi
saya, jika seorang kader hanya berdiam diri atau berpangku tangan tanpa
melakukan sesuatu adalah sebuah penghinaan atas eksistensi PMII. Hati, pikiran,
dan fisik setiap kader harus selalu beraktivitas untuk memikirkan perjuangan
dan kebermanfaatan kepada orang banyak.
Sebagai refleksi awal, kita bisa melihat
banyak tokoh penting yang sudah berjuang diberbagai medan perjuangan baik
nasional maupun internasional. Tidak hanya soal mereka yang berhasil pada arena
birokrasi, PMII juga telah melahirkan banyak tokoh yang berjuang sebagai
aktivis kemanusiaan, ngopeni masyarakat akar rumput. Mereka adalah kader
PMII yang sudah matang dalam menjawab segala persoalan-persoalan berbangsa dan
bernegara serta beragama. Tentu, tidak semudah membalikkan telapak tangan,
mereka adalah kader yang sudah dibekali dengan peralatan intelektual sehingga
mampu membaca dinamika dan kontradiksi-kontradiksi sosial yang terjadi.
Kompleksnya medan perjuangan yang
harus dihadapi oleh PMII tidak lain untuk membuatnya lebih survive dan
tangguh. Selain pada pengembangan diri pribadi, segala persoalan memang harus
dijawab guna mengejawantahkan tujuan dari organisasi yang bernama PMII.
Mendampingi masyarakat dan menata bangsa Indonesia merupakan salah satu dari
poin penting didalam tujuannya. Sahabat-sahabat bisa lihat tujuannya
sebagaimana termaktub dalam Anggaran Dasar bab IV pasal 4.
Dalam kesempatan refleksi harlah ke-62
tahun ini, saya akan mencoba sedikit memberikan tanggapan minimal sebagai urun
rembuk dari saya yang masih aktif sebagai pengurus di struktural komisariat.
Sebenarnya ada yang mengendap bahkan mulai sirna dalam dunia gerakan mahasiswa
khususnya dalam lingkaran PMII. Mahasiswa yang tergabung dalam PMII ini,
termasuk saya, hanya kebanyakan wacana saja. Kalau kata anak PMII Universitas
Nurul Jadid itu manossa se bennyak apacapa malolo. Tipologi kader yang
seperti ini hanya selesai pada tahap retorika saja, jarang yang bisa
mengimplementasikannya untuk lebih dekat kepada kepentingan masyarakat,
mengawal proses beragama, berbangsa, dan bernegara.
Krisis yang terjadi pada tubuh PMII bersama
kadernya adalah defisit literasi. Jarang ditemukan dari melimpahnya kader PMII
yang serius dan intens menekuni dunia literasi. Masih minim sekali karya-karya
dari para kader PMII yang potensial untuk dijadikan rujukan dari kompleksitas
kebutuhan masyarakat terutama karya yang memakai bahasa “mudah dipahami oleh
masyarakat akar rumput”. Persoalan media dan teknologi yang hari ini menjadi
program unggulan dari PB PMII memang sangat minim. Jarang ditemui narasi-narasi
keislaman dalam menyuarakan Islam moderat dan ceria tanpa kekerasan.
PMII sudah seharusnya menyikapi dengan
serius persoalan perkembangan media dan teknologi. PMII harus membersamai Nahdlatul
Ulama’ dalam mengampanyekan Islam Nusantara untuk menghindari atau menangkis
paham-paham radikal-anarkis dan fanatisme agama. PMII dengan ribuan kadernya
harus masuk secara mendalam di dunia maya dengan berbekal pengetahuan yang
holistik supaya mampu menyeimbangi segala persoalan yang akan merongrong
keberadaan Indonesia. Diversitas Indonesia harus selalu dijaga dengan
pendekatan yang kontekstual dan komunikatif.
Menjawab segala persoalan diatas, para
kader PMII yang berada distruktur harus lebih giat dan serius mendampingi para
kader yang semakin hari semakin kompleks. Kader PMII bukan hanya dari kalangan
pesantren dan kampus agama seperti IAIN dan UIN, tetapi semakin tahun berbagai
kalangan turut terekrut di dalamnya seperti di kampus umum. Kultur hibrida
menjadi warna baru bagi PMII, untuk itu teramat penting ilmu pengetahuan dan
keagamaan yang harus diintegrasikan bagi kehidupan berbangsa dan beragama.
Akan tetapi, fokus tulisan ini tidak
akan mengulas bagaimana dinamika PMII dikampus umum. Tentu karena tulisan ini
dibuat sebagai refleksi dari kami yang berada dalam lingkungan kampus
pesantren. Kebetulan selama empat bulan – Desember 2021 hingga Maret 2022 –
kami sebagai pengurus komisariat selalu intens mengadakan evaluasi bersama para
pengurus rayon. Sepertinya dari bulan ke bulan yang disampaikan oleh mereka
tidak jauh berbeda, seperti miss komunikasi, pengurusnya banyak hilang,
kadernya momentuman saja, dan sebagainya.
Kami mencoba memberikan jalan keluar
meskipun belum tentu mujarab untuk mengatasinya. Sebagai seorang yang berada di
struktur – terutama ketua rayon dan ketua komisariat – harus menjadi panutan
dalam berbagai hal. Semisal para ketua ingin kadernya melakukan ‘A’ maka ia
harus memulai terlebih dahulu untuk menjadi percontohan. Karena kita tidak bisa
serta merta menyuruh atau menginstruksikan tanpa memberikan contoh konkret pada
pribadi kita.
Seperti halnya yang disampaikan oleh
pengurus rayon pada 28 maret 2022, mereka mengadu bahwa kadernya suka ghaib,
disuruh nulis malah menghilang. Fenomena seperti ini tidak lantas bahkan haram
menyalahkan kadernya yang kurang berpartisipasi aktif. Sebagai pengurus harus
rajin-rajin instrospeksi diri, karena dari merekalah segala permasalahan
bersumber. Seorang pimpinan harus memiliki aspek ethos supaya ia bisa
diikuti oleh bawahannya atau kader yang dipimpinnya.
Kami ingin mengutip salah satu
perkataan atau quote dari ketua umum pertama PMII, Mahbub Djunaidi, tentunya
akan sangat memberikan tamparan hebat kepada kita yang berada di struktur.
“Jika guru pipis berdiri, maka jangan heran kalau murid pipis berlari”.
Perkataan tersebut terdengar atau terlihat sederhana, tapi sudah cukup
memberikan sentilan kepada kita semua sebagai generasi penerusnya. Kita semua
harus serius menelaah quote tersebut, buat tertanam kuat dibenak dan usahakan
selalu terngiang-ngiang ditelinga kita.
Pola kaderisasi yang perlu diterapkan
adalah percontohan atau keteladanan. Tanpa dimulai dari seorang pimpinan dan
pengurus dengan menulis dan mengajarkan pentingnya berkarya, maka kata Mahbub
jangan pernah heran jika kedepannya tidak akan ditemukan karya-karya masyhur
yang terlahir dari pergolakan pemikiran dan keringat tangan kader PMII. Kalau
tradisi lama masih dilanjutkan, mengajari sekadar tradisi lisan semata, tradisi
menulis kedepannya tidak akan akrab sebagai ruh atau nafas dari warga
pergerakan.
PMII harus lebih aktif dan komunikatif
supaya eksistensinya tetap terawat. Tidak mudah tergerus oleh kerasnya zaman
layaknya komunitas atau organisasi yang tidak jelas yang sering muncul
belakangan ini. Melimpahnya kader secara kuantitas harus dipertautkan dengan
pengembangan kualitas kader. Pola kaderisasi harus seimbang antara pengembangan
intelektual berbasis diskusi dengan penguasaan teknologi. Media PMII harus
lebih digalakkan untuk menampung tulisan kader, meminjam istilahnya ketua umum
Abdullah Syukri, mampu menciptakan opini tandingan.
Mumpung menulis dalam momen harlah,
saya teringat apa yang pernah disampaikan oleh Ketua Umum PB PMII masa khidmat
2008-2011, Muhammad Rodli Kaelani. “Jika hanya maknai hari lahir PMII dengan
biasa-biasa saja, maka berkhidmat di PMII di hari-hari selanjutnya hanya
biasa-biasa saja, dan pasca alumni menata kehidupan cukup menjadi manusia
biasa. Sebaliknya, jika dimaknai hari lahir PMII dengan luar biasa, maka
berkhidmat di Pergerakan maupun pasca alumni akan menjadi manusia luar biasa
dan menata kehidupan sosial dengan
penuh kemanfaatan”.
Jadi, sudah sewajarnya sebagai warga pergerakan
tidak melulu memaknai harlah sebagai hal biasa, ceremonial semata, dan potong
tumpeng saja. Harlah PMII harus dimaknai dalam rangka mencerdaskan otak untuk
mengukir prestasi dan menyugesti kehidupan masa depan. Harlah PMII harus
dijadikan refleksi supaya kader hari ini mampu meneladani para pendahulu secara
serius bukan sebatas romentisme sejarah saja. Saatnya menjadikan momen harlah
sebagai perubahan secara mendasar bagaimana kader PMII mampu berperan aktif
dimana saja dan kapan saja. Kader yang siap pakai dalam situasi dan kondisi
apapun.
Saya ingin menegaskan dalam tulisan ini selain
selalu saya sampaikan pada pertemuan-pertemuan forum PMII. “Kader PMII tidak
boleh menjadikan suatu keadaan sebagai alasan paling keren untuk menyerah pada
situasi yang tidak memungkinkan. Seharusnya sebagai kader harus mampu
menjadikan sebuah hambatan sebagai tantangan untuk terus maju. Jika ada
rintangan, jangan sampai mundur, tapi berbeloklah lalu maju kembali.”
Zaman yang semakin maju dengan indikator media dan
teknologinya harus mampu dijawab dan dijalani oleh warga pergerakan. Dengan
modal intelektual yang sudah mumpuni yang ditempa dalam setiap diskusi follow
up, diskusi fakultatif, dan jenis diskusi lainnya sudah saatnya untuk
dibahasakan ulang menjadi narasi yang menarik untuk dibaca dan perlu dalam
lintasan dunia maya. Kader PMII harus melek teknologi yang dalam kedepannya
akan menjadi sentrum perjuangan dalam menyalurkan gagasan-gagasan kontekstual
untuk kemajuan Indonesia dan PMII.
Kata Mahfud Sunarjie, Jurnalis alumni PMII, tanpa
narasi diberbagai media, eksistensi PMII hanya akan berada dalam hati saja.
Bukti konkret hari ini yang menunjukkan bahwa PMII masih aktif berperan dan
mengawal serta mengisi keberlangsungan Indonesia selain dalam dunia nyata harus
diseimbangi dengan eksistensi dunia maya. Ingat! PMII tidak pernah lahir dari
ruang hampa tanpa tujuan dan landasan yang jelas, tetapi terlahir atas
kejernihan hati dan kejelihan pemikiran untuk menjawab tantangan zaman yang
terus dipupuk dengan secercah harapan yang terorganisir.
Akhir kata, saya mengucapkan selamat
harlah PMII ke-62. Marilah berdoa secara serius. Lalu lantangkan dengan
semangat pengabdian dan gemakan dengan penuh kegembiraan. Lantunkanlah dengan
bangga “Inilah kami wahai Indonesia. Tunas yang terus bersemi, dan kader yang terus
tumbuh subur. Inilah kami wahai Indonesia. Ilmu dan bakti kuberikan”.
Penulis: Abdur Rahmad (Sekretaris Umum PMII
Komisariat Universitas Nurul Jadid)
Komentar
Posting Komentar
Silahkan Berkomentar asalkan tidak meyinggung SARA dan tetap menjaga toleransi demi keharmonisan bersama