Pulau Madura khususnya Kabupaten Sumenep memiliki kebudayaan yang
sangat banyak. Sumenep yang sangat terkenal akan wisatanya juga terkenal dengan
keseniannya. Kesenian yang ada di kabupaten paling ujung di Pulau Madura ini
sangatlah beragam, dan salah satunya yang sudah terkenal adalah kesenian
ludruk.
Kesenian sebagai manifestasi dari budaya mempunyai fungsi yang sangat
bermakna dalam kehidupan masyarakat. Tidak hanya menjadi suatu tontonan yang
dapat menghibur, akan tetapi mengandung nilai-nilai moral yang dapat dijadikan
cermin oleh masyarakat. Oleh karena itu, kepedulian masyarakat untuk selalu
mencintai kesenian harus selalu ditumbuhkan agar supaya kesenian yang ada tidak
hanya menjadi suatu aset kebudayaan daerah yang terlupakan. Kepedulian
masyarakat terhadap pelestarian kesenian harus selalu dipupuk.
Salah satu masyarakat yang ada di Kabupaten Sumenep yang sangat
pandai menjaga atau melestarikan kesenian asli Sumenep adalah Masyarakat
Giligenting. Giligenting adalah sebuah pulau yang berada di selatan kabupaten
sumenep yang terdiri dari 4 Desa, yakni Desa Bringsang, Gedugan, Galis, dan
Aenganyar.
Penduduk Kecamatan Giligenting terkenal dengan orang yang suka
merantau, baik bekerja ataupun menempuh pendidikan ataupun yang lainnya. Kebiasaan
merantau tersebut tetap tidak mengurangi kebiasaan masyarakat tersebut dalam menjaga
atau melestarikan kesenian yang ada di Kabupaten Sumenep. Hal ini terbukti
dengan kompaknya masyarakat giligenting yang merantau untuk pulau ke kampung
halaman dalam melaksanakan acara tertentu seperti halnya acara pernikahan,
khitanan, petik laut dan lain sebagainya. Biasanya mereka mengambil kesenian
tradisional ludruk sebagai suatu hiburan yang meramaikan acara tersebut,
sekaligus menstimulus orang-orang untuk datang di acara tersebut.
Dalam perkembangan yang semakin maju, ada banyak hiburan yang
tentunya bisa menghibur masyarakat seperti halnya kehadiran orkes, gambus, dan
lainnya, tetaplah tidak mudah mengubah kedudukan ludruk yang sudah sejak lama
disenangi masyarakat Giligenting. Masyarakat Giligenting masih saja bertahan
seakan tidak pernah ada kebosanan yang menyelimuti mereka untuk beralih dari
mengundang kesenian ludruk.
Meskipun masih tergolong sebagai kesenian tradisional, ludruk sudah
mampu mengolaborasikan alat musiknya ataupun tembangnya dengan apa yang sudah
ada di zaman sekarang. Jadi dengan adanya pengkolaborasian tersebut membuat orang
yang mengundang dan menonton semakin senang dan tresno pada ludruk. Dengan
itu pula, pad saat ini ludruk tidak hanya disenangi atau diramaikan dengan
kalangan orang tua tetapi tidak ada batasan usia yang sudah menerima dan
menyenangi ludruk seperti anak-anak, remaja, dewasa, baik laki-laki maupun
perempuan.
Ludruk yang sudah bisa diterima oleh siapa saja tanpa batasan usia
membuat ludruk tidak pernah sepi dari penonton. Meskipun ludruk akan
ditampilkan bermalam-malam atau selama 1 minggu penuh atau 1 bulan penuh tetap
akan diramaikan oleh para penonton. Hal ini
merupakan akibat dari ludruk yang tidak hanya monoton dan karena dapat
menyajikan sesuatu yang berbeda bagi para penggemarnya.
Bahkan dari saking senangnya masyarakat kepada ludruk, orang yang
ingin mengundangnya harus terlebih dahulu mengundang selama 2 atau 3 tahun
sebelumnya. Karena jika mengundang pada 1 tahun sebelumnya atau sudah
dekat-dekat dengan acaranya, dapat dipastikan orang tersebut tidak akan bisa
menikmati dan menghadirkan ludruk ke halaman rumahnya.
Ludruk dapat diterima oleh semua masyarakat tanpa batasan usia
dikarenakan ludruk juga tersampaian oleh para pemainnya dengan bahasa yang
santun yakni dengan bahasa madura. kesantunan bahasa yang disampaikan juga
diiringi dengan ajaran-ajaran keagamaan ataupun nasehat-nasehat yang baik
kepada para penontonnya. Sehingga dengan adanya kesantunan bahasa dan
nilai-nilai kegamaaan membuat acara yang sedang berlangsung tersebut lebih
bermanfaat.
Komentar
Posting Komentar
Silahkan Berkomentar asalkan tidak meyinggung SARA dan tetap menjaga toleransi demi keharmonisan bersama