![]() |
Dok Istimewa |
Di
bawah terik matahari yang menyengat dan dedaunan yang berjatuhan karena usianya
yang telah mencapai ujung kehidupan, banyak tukang becak yang berdiam diri
dalam kesepian pelanggan. Orang-orang yang tinggal di daerah Paiton ini sangat
gigih dalam menjalani kehidupan, bahkan seratus rintangan pun mereka hadapi
demi mendapatkan uang untuk keluarga tercinta.
Mereka
adalah pejuang keluarga yang menanti dengan penuh semangat, mereka berdiam di
pangkalan becak yang berada di dekat Pos I dan Pos II gerbang masuk PP Nurul
Jadid Paiton. Sangat simpel sekali melihat aktivitasnya sehari-hari, jika tidak
ada pelanggan mereka hanya berdiam diri dengan sabar dalam kesetiannya menunggu
orang dengan harapan ada yang memanggilnya untuk meminta bantuan jasanya.
Kesehariannya tidak pernah menentu banyaknya tumpangan, mungkin yang paling
banyak ketika hari libur pesantren yakni selasa dan jumat. Bisa juga ketika
pada hari libur maulid dan ramadhan.
Sudah
barang tentu, ketika pelanggan yang tidak tentu maka penghasilanpun tidak akan
menentu. Penghasilannya yang tidak
menentu itu menjadi suatu masalah pada pencarian nafkah untuk keluarganya.
Apakah itu bisa cukup atau masih dibilang sangat kekurangan pada kehidupan sehari-harinya.
Bisa saja mereka kan pulang dengan tangna kosong, tak membawa sepeserpun uang
untuk keluarga. Mereka hanya bisa tetap berusaha demi menafkahi keluargnya,
masalah rezeki ada Tuhan yang maha pemberi dan maha kuasa yang akan memberikan
rezeki kepada mereka.
Menjadi
tukang becak memang bukankah pekerjaan yang bisa dibilang menguntungkan. Hal
ini dikarenakan pada setiap orang yang sudah mempunya sepeda motor dan mobil
sebagai kendaraan pribadinya. Perubahan ini pasti akan disadari oleh para tukang
becak, yang mana harus besar hati dalam mengahdapi perubahan tersebut.
*****
Suatu
hari, saat terik matahari sangat menyengat dan suasana dahaga sangat terasa
sekali, para tukang becak terlihat seperti biasanya menanti orang ingin menaiki
becaknya. Keadaan pada hari itu tak seperti biasanya. Tidak adan penumpang satu
pun, tidak adanya rezeki yang nampak jelas seperti hari-hari sebelumnya. Sampai
menjelang sore hari, para tukang becak masih terus menunggui dan tetap berusaha
mencari rezeki dengan becaknya. Seringkali juga bertanya kepada setiap orang
yang keluar dari pondok pesantren barangkali membutuhkan jasanya untuk
diantarkan ke suatu tempat, namun mereka tidak mengiyakan pertanyaan para
tukang becak tersebut.
Ketika
pada siang hari masih belum juga mendapatkan rezeki yang bisa dibawa pulang ke
rumahnya. Para tukang becak masih saja meneruskan mencari rezeki pada malam
hari. Bahkan pindah tempat yang barang kali ada orang yang mau menumpangi
becaknya. Salah satu tempat yang juga ramai dengan tukang becak adalah pertigaan
Tanjung Paiton. Tempat ini menjadi harapan para tukang becak yang mana sering
kali ada bus atau angkutan umum yang menurunkan penumpangnya. Dengan itu, para
tukang becak berharap agar orang yang turun dari bus atau angkutan umum tersebut
bisa memintanya untuk mengantarkan kemana yang mereka inginkan seperti ingin
pergi ke Pondok Pesantren Nurul Jadid yang lurus kearah utara.
*****
Pada suatu
hari, aku bermaksud untuk pergi ke daerah Tanjung tepatnya ke Perumahan De
Tanjung Raya karena ada panggilan dari KaProdi. Hari itu, aku masih sangat lesu
untuk pergi keluar dari pondok. Namun karena ada acara yang bersifat wajib, aku
pun terpaksa untu pergi ke tempat tersebut. Untuk sampai ke daaerah tersebut
membutuhkan waktu sekitar 15 sampai 20 menit dengan berjalan kaki. Pada awalnya
aku ingin pergi dengan jalan kaki, namun hari sudah hampir maghrib. Akhirnya
aku memanggil seorang tukang becak untuk meminta bantuan jasanya.
“Mau
kemana nak”, tanya bapak itu.
“itu
pak, mau ke perumahan tanjung” ucapku pada bapak tukang becak itu,
Dalam
perjalanan, aku berfikir mengenai bagaimana lelahnya menjadi seorang tukang
becak. Apakah lelahnya itu dapat terbayar sesuai pendapatannya, atau malah
tidak mendapatkan pendapatan sama sekali. Hal itu yang terus merasuki pikiranku
hingga tanpa sadari becak sudah berhenti pada tujuan yang aku minta.
“Sudah
sampai nak”, ucap sang tukang becak memberitahuku.
“Ouhh
iya pak, berapa pak”, tanyaku.
“5
Ribu nak”
“Ouhh
iyaa pak”, sahutku sambil lalu aku menyodorkan uang 10 ribuan.
“Tidak
ada kembaliannya nak, gak ada uang pas?”
“Gak
ada, sudahlah ambil saja kembaliannya”, sahutku.
Aku
pergi meninggalkannya. Bapak itu memutar becaknya dan entah mau kemana. Hal
yang perlu aku ungkapkan adalah mengenai perbincangan yang tadi aku lakukan
dengan bapak tersebut. Bapak itu tidak mempunyai uang kembalian untuk
mengembalikan uangku. Ternyata hal itu adalah akibat dari kesehariannya yang
masih belum menemukan penumpang sama sekali. Sehingga beliau masih belum mendapatkan
uang untuk dikembalikan kepadaku.
Oleh: Abdur Rahmad
*) Adalah Mahasiswa Prodi KPI, Fakultas Agama Islam
Universitas Nurul Jadid Paiton.
Ya Allah...
BalasHapuskenapa cak?
HapusBlok nya bagis cak
BalasHapusEnggeh cak maksih
Hapus