Sangat bersyukur pada hari ini masih diberi
kesempatan untuk merasakan hidup di dunia ini. Mengenai postingan hari ini,
saya akan membawakan sebuah postingan yang agak mirip dengan postingan
sebelumnya. Jadi, masih mengenai perpolitikan pada tahun 2019 ini.
Tahun ini tepatnya pada bulan april kita akan
bertemu dengan pemilihan presiden dan wakil presiden Republik Indonesia. Tahun
pemilu kali ini akan menjadi tahun yang menjadikan pertarungan para politisi,
beserta dengan para pendukungnya. Pada tahun-tahun seperti ini banyak orang
akan rela mengorbankan pertemanan bahkan kekeluargaan. Hanya karena beda
pilihan akan berakhir dengan sikap saling memusuhi.
Tahun politik sudah pasti akan gaduh. Banyak
para politisi yang tiba-tiba jadi alim, jadi peduli, jadi dekat dengan rakyat,
yang seolah-oleh 100% menegdepankan kepentingan bersama (rakyat). Tetapi
dibalik semua tindakannya ada yang lebih diperhatikan yakni suara rakyat. Kepedulian
terhadap rakyat menjelang pemilihan umum hanya karena untuk menarik simpati
rakyat sehingga mau memilih terhadap mereka yang mencalonkan diri menjadi
seorang pemimpin.
Bukan hanya itu saja. Banyak strategi yang
dilakukan para politisi untuk mempolitisasi rakyat. Mulai dari mengadakan
panggung gembira dengan banyak hadiah, mengadakan pembagian sembako, bahkan ada
yang sudah menyiapkan sejumlah uang untuk membeli suara rakyat. Dan tentu yang
menjadi sasaran adalah rakyat kecil. Namun sekali lagi, ketika mereka sudah
terpilih, suara rakyat kecil bahkan sudah tidak akan didengar lagi.
Ketika rakyat tidak cerdas dan tidak bisa
memperhatikan kepentingan jangka panjang maka akan dengan mudah mendapatkan
sogokan yang seperti diatas. Rakyat dengan rela mencoblos calon pemimpin dengan
dibayar. Dengan demikian, ketika suatu calon terpilih menjadi pemimpin, hal
pertama yang terfikirkan adalah bagaimana mengembaikan uang yang sudah
dikeluarkan demi membeli suara rakyat. Kepentingan bersama (rakyat) akan
terbelangkalai hanya karena mementingkan kepentingan prbadi atau sepihak.
Banyak para elit politik negeri ini yang bahkan
maksa untuk mencalonkan diri meski tidak memiliki modal. Sehingga mungkin
meminjam uang ke sana ke mari. Dan tidak sedikit dari mereka yang akhirnya
ketika tidak terpilih menjadi stress bahkan mengalami gangguan jiwa. Lalu bagi
mereka yang berhasil terpilih, mereka akan bekerja dengan niatan mengembalikan
modal yang sudah mereka keluarkan selama masa kampanye. Yang akhirnya membawa mereka
pada perbuatan korupsi. Karena antara pengeluaran selama kampanye dan gaji
kerja selama lima tahun menjabat masih lebih besar pengeluaran mereka ketika
berkampanye.
Siklus itu terus berlanjut tanpa adanya
kesadaran dari para politisi di negeri ini. Tak akan pernah ada habisnya para
koruptor di negeri ini dengan sebab niatan jahat sejak sebelum menjadi calon
terpilih. Belum lagi janji-janji yang tidak ditunaikan. Janji hanya diucapkan
saat kampanye saja. Selesai kampanye maka janji itu hanyut entah kemana.
Belum lagi ketika kita membahas yang namanya
kampanye hitam. Antara lawan politik sudah menjadi rahasia umum pasti aka nada
yang namanya kampanye hitam. Kampanye dengan menyudutkan lawan politiknya.
Kampanye yang tidak sehat. Ini yang sering dijumpai ketika lawan politik
memiliki kelemahan yang memungkinkan untuk diungkit keluar supaya lawannya
kalah dalam pemilu.
Namun beda halnya kalau kampanye itu
menyampaikan fakta yang terjadi pada negara saat itu. Seperti misal, lawan
politiknya adalah petahana. Tentu semua orang sudah tahu bagaimana kinerja
petahana tersebut selama menjabat dulu. Sebagai lawan politik, jika saat
kampanye menyampaikan kegagalan petahana tersebut dalam membawa negara ini,
maka itu bukan termasuk ke dalam kampanye hitam. Karena kampanye tersebut
menunjukkan fakta di lapangan. Bahkan jika petahana tersebut dulu pernah
berjaji saat kampanye dan tidak ada satu pun janjinya yang dilaksanakan, maka
lawan politik pun tidak mengapa jika berkampanye dengan membawa sikap lawan
yang tidak menepati janjinya tersebut.
Kemudian, keesahan yang paling dirasakan adalah
ketika para pendukung terlalu fanatik. Terkadang, karena kefanatikan itu
membuat para pendukung buta hingga bermusuhan dengan pendukung lawan. Padahal
tentu mereka masih saudara setanah air. Tapi kefanatikan telah membutakan. Jida
sudah terjadi seperti itu maka bagi mereka sudah tidak ada lagi hubungan
pertemanan, persahabatan, bahkan kekeluargaan jika sudah beda pilihan. Padahal
tentu kita tahu bahwa perbedaan pilihan adalah wujud dari demokrasi. Jangan
memaksakan pilihan kepada orang lain. Karena siapa pun memiliki hak untuk
memilih siapa calon yang dipilih. Tak ada paksaan dalam memilih.
Dengan kejadian yang tidak pantas ada di negeri
tercinta ini, alangkah baiknya jika tahun 2019 ini dapat menjaga suasana tetap
aman dan kondusif serta menghindar diri dari money politik. Jika pilihan kita beda,
ingat bahwa kita masih satu saudara, Indonesia.
Paiton, 10 februari 2019
Komentar
Posting Komentar
Silahkan Berkomentar asalkan tidak meyinggung SARA dan tetap menjaga toleransi demi keharmonisan bersama