![]() |
Dok Google |
Isra' Mi'raj Nabi Muhammad SAW, merupakan salah
satu mukjizat nabi. Satu-satunya peristiwa fenomenal, persitiwa agung, pemberian
dzat yang maha agung, untuk makhluk yang paling agung, untuk diberikan
pemberian yang paling agung.
Peristiwa Isra Mi'raj adalah perjalanan Nabi
Muhammad SAW di waktu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa dan naik ke
Sidratul Muntaha. Perjalanan itu yang semestinya ditempuh bertahun-tahun dapat
ditempuh dengan waktu yang singkat. Karena Nabi bukanlah berjalan sendiri,
melainkan ada campur tangan tuhan untuk menjalankan. Kalau sudah tuhan yang
menjalankan, tidak ada yang mustahil.
Jarak yang jauh menjadi dekat. Waktu yang
seharusnya lama menjadi singkat. Itulah gambaran perjalanan nabi pada Isra'
Mi'raj. Ketika Nabi dinaikkan, ada banyak bertemu dengan para nabi lain yang
berada di langit. Langit pertama bertemu dengan Nabi Adam. Kedua, bertemu
dengan Nabi Isa dan Nabi Yahya. Ketiga, bertemi dengan Nabi Yusuf. Keempat
bertemu dengan Nabi Idris. Kelima bertemu dengan Nabi Harun. Keenam bertemu
dengan Nabi Musa. Ketujuh bertemu dengan Nabi Ibrahim.
Melewati ketujuh langit, hanya Nabi Muhammad SAW
sebagai satu-satunya manusia yang dapat menjangkaunya. Terus naik ke Sidratul
Muntaha dan sampai ke Mustawa bertemu dengan Gusti Allah. Tidak ada lain, Allah
mewajibkan kepada Nabi dan Ummatnya yakni Shalat 50 waktu.
Didalam hadits yang diriwayatkan dari Anas
tentang malam isro dan mi’raj dijelaskan Nabi saw berkata bahwa Allah swt
mewajibkan kepada umatku lima puluh kali (waktu) shalat kemudian aku kembali
dengan perintah itu sehingga aku melewati Musa dan dia berkata,”Apa yang
diwajibkan Allah untukmu terhadap umatmu.’
Aku mengatakan, ’Dia swt telah mewajibkan
lima puluh kali (waktu) shalat.’ Musa berkata,’Kembalilah kepada Tuhanmu,
sesungguhnya umatmu tidak akan sanggup melakukannya.’ Maka aku pun kembali
menemui-Nya sehingga Dia swt menetapkan setengahnya.
Aku kembali kepada Musa dan aku katakan,’Dia
swt telah menetapkan setengahnya.’ Musa mengatakan,’Kembali lah ke Tuhanmu,
sesungguhnya umatmu tidak akan sanggup melakukannya.’ Maka aku pun kembali dan
Dia swt menetapkan setangahnya. Aku pun kembali menemuinya (Musa) dan dia
mengatakan,’Kembalilah kepada Tuhanmu, sesungguhnya umatmu tidak akan sanggup
melakukannya.’
Maka, akupun kembali menemui-Nya dan Dia swt
berkata,’Ia adalah lima kali yang sama dengan limapuluh kali dan tidak ada yang
berubah perkataan-Ku.’ Aku kembali kepada Musa dan merasa malu terhadap
Tuhanku.’.. (HR. Bukhori)
Ibnu Hajar menyebutkan bahwa kembalinya
Rasulullah saw kepada Tuhannya untuk meminta keringanan sampai beberapa kali
menunjukkan bahwa perintah itu pada setiap kalinya belumlah sampai ke tingkat
wajib berbeda dengan kali terakhir yang didalamnya ada indikasi akan kewajiban
(itu) dengan firman-Nya,”Tidak akan berubah perkataan (ketetapan) disisi-Ku.”
Sebagian syeikh mengemukakan hikmah Nabi Musa
menyuruh agar Nabi saw berkali-kali menghadap Allah dengan mengatakan,”Ketika
Musa memohon untuk melihat Allah swt dia tidak dikabulkan lalu dia mengetahui
bahwa hal seperti ini terjadi pada Muhammad saw maka dia menyuruhnya untuk
kembali berkali-kali agar berkali-kali juga melihat-Nya”.
Ibnu Hajar juga menyebutkan diantara faedah
perubahan dari limapuluh menjadi lima kali adalah bolehnya naskh (penghapusan
hukum) sebelum hukum tersebut dilaksanakan, sebagaimana perkataan Ibnu
Bathol,”Tidakkah engkau perhatikan bagaimana Allah swt menghapus shalat yang
lima puluh menjadi lima sebelum ia dilaksanakan. Kemudian Allah memberikan
karunia-Nya dengan menyempurnakan pahala shalat.” (Fathul Bari juz I hal 555)
Allah swt mengetahui batas kesanggupan setiap
hamba-Nya didalam melaksanakan perintah-perintah-Nya sebagaimana Dia swt juga
mengetahui bahwa kemampuan setiap mereka tidaklah sama, ada dari mereka yang
mampu melaksanakan setiap kali shalat lima waktunya di awal waktu, ada yang
kadang-kadang saja bahkan ada yang dilakukan sendirian di akhir waktu dan
sebagainya namun mereka semua tetap dihitung telah melaksanakan kewajibannya.
Ada dari manusia yang mampu mengkhatamkan Al Qur’an setiap tiga hari, lima
hari, seminggu, setengah bulan, sebulan atau mungkin lebih dari itu.
Dan diantara rahmat Allah kepada umat ini
adalah diberikannya keringanan terhadap jumlah shalat yang harus dilakukan
setiap muslim mulai dari lima puluh kali hingga akhirnya menjadi lima kali.
Musa as mengkhawatirkan bahwa shalat yang lima puluh kali itu tidak akan
sanggup dilaksanakan oleh umat Muhammad saw, sebagaimana dikatakan oleh al
Qurthubi bahwa hikmah dari pengkhususan Musa dengan meminta Nabi Muhammad saw
kembali ke Tuhannya dalam perintah shalat memungkinkan bahwa umat Musa pernah
dibebankan dengan beberapa shalat yang tidak dibebankan kepada umat-umat
sebelumnya dan hal itu cukup memberatkan mereka.
Untuk itu, Musa khawatir hal ini juga terjadi
pada umat Muhammad saw, yang ditunjukkan dengan perkataannya,”Sesungguhnya aku
telah merasakan hal ini sebelummu”.
Allah swt selain menetapkan kewajiban kepada
hamba-hamba-Nya, Dia swt juga memperhatikan berbagai kemaslahatan dan kebaikan
bagi mereka didalam menjalankan berbagai perintah-Nya tersebut. Allah swt tidak
menginginkan adanya kesempitan dan kesulitan didalam menjalankan agamanya
sehingga dapat membawa mudhrat bagi pemeluknya, sebagaimana firman-Nya :
ÙŠُرِيدُ اللّÙ‡ُ
بِÙƒُÙ…ُ الْÙŠُسْرَ Ùˆَلاَ ÙŠُرِيدُ بِÙƒُÙ…ُ الْعُسْرَ
Artinya : “Allah menghendaki kemudahan bagimu,
dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (QS. Al Baqoroh : 185).
Ra'is Syuriah,
pengurus cabang istimewa NU di Australia dan Selandia Baru, Dr. H.
Nadirsyah Hosen, LLM, MA (Hons), PhD, pernah mengungkapkan disebuah video yang
tersebar di beberapa media NU bahwa shalat itu adalah ibadah yang diturun
dengan penuh kasih sayang tuhan. Dalam Hadits Shahih Muslim No. 237 dan Hadits
Shahih Bukhari No. 336, dikisahkan peristiwa luar biasa dan fenomenal ayitu
shalat. Peristiwa itu mencengangkan para ulama. Mereka membahas, bagaimana
mungkin sebauh perintah diturunkan, belum dilaksanakan sudah ditawar. Namun
itulah bukti, bagaimana dalam perintahnya ada kasih sayang dan inilah yang kita
lihat dalam peristiwa shalat ini begitu mudah dijalankannya. Tidak air, bisa
tayammum. Sedang melaksanakan tugas penting yang tidak bisa ditinggalkan, bisa
dijamak. Tertinggal shalat, bisa mengqadla. Sedang dalam perjalanan, bisa
mengqashar. Inilah yang disebut dalam perintahnya ada kasih sayang. Tidak ada
alasan untuk tidak melaksanakan shalat. Islam begitu fleksibel (lentur), mudah,
dan Allah pun Negoisable.
Dan diantara karunia Allah swt kepada umat
Muhammad adalah meskipun shalat tersebut secara jumlah terkurangi dari
limapuluh menjadi lima kali namun secara pahala maka ia sama dengan limapuluh
kali.
*Tulisan berawal dari adanya cuplikan video di berbagai media yang berbasis NU yang mengutip mengenai audio (semacam ceramah) dari Ra'is Syuriah,
pengurus cabang istimewa NU di Australia dan Selandia Baru, Dr. H.
Nadirsyah Hosen, LLM, MA (Hons), PhD. Kemudian saya mencoba menulis lebih jauh mengenai negoisasi (pengurangan) jumlah shalat dan kasih sayang Allah kepada ummatnya.
Paiton, 01 Februari 2019
Komentar
Posting Komentar
Silahkan Berkomentar asalkan tidak meyinggung SARA dan tetap menjaga toleransi demi keharmonisan bersama