![]() |
Dok Google |
Pemilu (Pemilihan Umum) presiden baru akan diselenggerakan pada
bulan april 2019. Namun, keriuhan di berbagai media sosial maupun dunia nyata
sudah lama sebelumnya terjadi. Ada banyak oknum yang saling bertukar pikiran
dan bahkan mirisnya mereka saling menjelekkan dan menjatuhkan.
Dalam perpolitikan di indonesia, yang terjadi lapangan, masyarakat
memilih dengan berbagai hak yang dilakukan. Mulai dari memilih karena kehendak
sendiri, karena sogokan uang, dan manut terhadap orang yang menjadi rujukan di
masyarakat (kiai). Namun, sekarang ini semakin banyak yang sudah tidak mau
mendengarkan dan mengikuti dawuh kiai dalam ranah perpolitikan.
Kiai adalah gelar agung yang diberikan masyarakat secara tulus
karena kontribusinya dalam masyarakat dan mampu menjadi rujukan masyarakat atas
permasalahan-permasalahan yang diahadapi. Oleh karena itu, kiai bukanlah gelar
yang dikerjar, melainkan gelar yang diapatkan.
Berdasarkan hal itu, kiai
adalah seorang yang alim. Kata alim dalam kajian leksiologi berarti memahami
suatu persoalan secara komprehensif, ia paham akan sesuatu secara menyeluruh.
Dalam hal ini, Emha Ainun Najib (2008 mengtakan bahwa alim adalah to
understand, mengerti dan tidak hanya sebatas mengetahui. Jika derajat
seseorang hanya pada taraf mengetahui, berarti ia baru disebut arif atau to
know.
Dalam kajian Pengantar Filsafat, dosen saya menyampaikan bahwa
manusia itu terbagi tiga bagian. Pertama, awam (common sense), yaitu orang
hanya ikut-ikutan pada manusia lain. Kedua, alim (scientific sense) yaitu orang
yang sudah mampu menganalisis. Ketiga, arif (philosopical sense), yaitu orang
sudah mengalami kejadinnya.
Jadi dari dua pendapat diatas, bisa menjadi pijakan bagi kita
bersama untuk mengatakan bahwa seorang kiai terlebih dalam masa pemilu semaca
sekarang ini punya pandangan yang matang, punya keilmuan yang menyeluruh, serta
punya kapasitas, kredibilitas, kapabilitas, dan akseptabilitas yang mumpuni.
Kiai yang banyak memimpin pesaantren-pesantren di Indonesia
merupakan basis dari Nahdlatul Ulama’ (NU). Nu adalah ormas terbesar di
Indonesia yang berdiri pada tahun 1926 oleh Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari.
Sebagai orgaisasi masyarakat terbesar yang anggotanya sekitar 60 juta orang, nu
menjadi ladang emas untuk meraih suara dalam berbagai pemilu. Ditambah dengan
warga yang mengidentikkan diri dengan NU dalam ritual keagamaannya, sesuai
survei Indo Barometer, jumlahnya bisa lebih dari 85 juta orang. Sedangkan
menurut Gus Dur, jumlah keselurahan masyarakat yang berselaras dengan Nahdlatul
ulama’ adalah 50 % dari penduduk di Indonesia.
Merupakan angka yang luar biasa banyaknya mengingat penduduk
Indonesia yang berkisar pada 265 juta. Apabila angka yang sedimikian banyak
itu, dapat dikonsolidasikan secara sempurna, maka akan bisa membawa siapa saja,
partai politik atau perseorangan, menjadi menang dalam pemilu. Tak heran
apabila menjelang pemilu seperti tahun ini, NU laksana gula atau madu yang
selalu dikerubuti peserta pemilu yang ingin mendapat dukungan dari warga ataupun elite nu.
Kita ketahui dilapangan bahwa nu selalu menjadi sasaran empuk untuk
menjadi pendukung dalam maju dalam pemilu. Mendekati pemilu, pesantren dan kiai
didekati layaknya ada kedekatan hubungan keluarga. Solidaritas dengannya
diperkuat laksana seorang orang tua dan anak. Di dunia nyata dan dunia maya,
banyak berkeliaran informasi bahwa calon ini telah berdampingan dengan kiai itu
atau yang lainnya yang berkaitan dengan kiai, nu, dan pesantren. Sehingga hal
ini akan menimbulkan hasrat bagi masyarakat untuk ikut serta mendukung menuju
pemenangan pemilu.
Berbanding terbalik pada tahun politik saat ini, yang mana
mayarakat sudah semakin kurang mendengarkan dan kurang mengikuti terhadap dawuh
kiai dalam hal politik. Walaupun banyak calon pemimpin yang sebelum
dilaksanakan pemilihan meminta dukungan para kiai, belum tentu dukung-mendukung itu punya
pengaruh besar. Sebab, sebagaimana dikatan oleh Kacung Marijan (2011), golongan
pemilih yang berbasis pesantren (santri) sudah banyak yang memilih berdasarkan
rasionalitas dan tidak jarang pula berdasarkan besar-kecilnya imbalan yang
diberikan calon pemimpin tersebut.
Hal itu terbukti, sebagaimana yang dikatakan oleh Akhmad Zaini
(2009), bahwa pedapat seorang kiai sudah mengalami desakralisasi. Itu berarti
banyak santri yang tidak menyakralkan anjuran politiknya dan berbelok memilih
berdasarkan hal-hal yang pragmatis, seperti berdasarkan meminjam istilah Akhmad
Zaini besar atau kecilnya sedekah.
Menurut Yahya C. Staquf (2009) dalam sebuah esainya yang berjudul
“Dekadensi Politik Kiai”, pernah menganalisis gejala degradasi pilihan politik
kiai. Ia menyampaikan bahwa ada tiga penyebab mengapa suara kiai dalam ranah
perpolitikan tidak lagi didengarkan oleh masyrakat.
Pertama, bergesernya
nilai-nilai perjuangan politik kiai yang awalnya idealis menjadi pragmatis dan
cenderung hanya sebatas dukung-mendukung. Kedua, mengerdilnya kekuasaan
kiai menjadi hanya sebatas pesantren yang diasuhnya sehingga warga diluar
pesantren tidak menganggap suara sang kiai lagi. Ketiga, rontoknya nilai
luhur ideologi dari daftar motivasi politik rakyat.
Analisis yang ditawarkan oleh Yahya C. Staquf diatas sangat relevan dengan dunia perpolitikan kita saat
ini. Pendangkalanga dan supervisialisme
ketidakpercayaan terhadap suara politik kiai oleh masyarakat semakin
meluas saja. Sehingga pilihan politik dikalangan warga nu dan kaum sarungan
semakin beragam.
Semakin beragamnya pilihan politik, harus disikapi dengan sikap
positif. Dalam artian, pilihan politik di kalangan warga nu dan kaum sarungan
tidak semata-mata ditentukan oleh para kiai dan elite politik, tetapi juga
rasionalitas mereka sendiri. Kecenderungan tersebut sekaligus merefleksikan
semakin memudarnya politik aliran dalam pemilu-pemilu demokratis sesudah Orde
Baru. Masyarakat tidak lagi memilih berdasarkan
identifikasi agama dan aturan aliran yang dianut suatu parpol, tetapi lebih pada preferensi individual masing-masing.
Disisi lain, jika pilihan masyarakat yang juga termasuk warga nu
dan kaum sarungan, dari pemilu ke pemilu terlalu “cair” dan begitu mudah
berubah-ubah, hal itu juga bukanlah berita yang positif. Kecenderungan demikian
justru merefleksikan lemahnya ikatan kelembagaan antara parpol dan
konstituennya. Artinya, parpol gagal membangun identitas diri secara
institusional sehingga terbuka peluang bagi parpol baru merebut simpati publik.
Paiton, 05
Januari 2019
Komentar
Posting Komentar
Silahkan Berkomentar asalkan tidak meyinggung SARA dan tetap menjaga toleransi demi keharmonisan bersama