“Dulu aku bangga jika doaku cepat terkabul. Aku merasa tuhan sayang
aku banget. Belakangan kurenung-renung, pengamen kalau ndak enak dan nyebelin
cepat diaksih duit, agar cepat nyingkir. Pengamen yang baik ditungguin sampai
lagu selesai, kalau perlu imbuh lagu lagi” (Sujiwo
Tejo).
Kata-kata tersebut saya temukan di Twitter @Sujiwo_Tejo dan di
Instagram NU yang pernah mempostingnya. Sebelumnya saya merasa bingung apa
maksud dari tulisan diatas. Bukannya kita berdoa, meminta karena mnginginkan
sesuatu. Nah, setelah dikasih sama tuhan, berarti doa kita kan telah diijabah
olehnya. Sehingga kita mendapatkan apa yang diinginkan itu.
Pada mata kuliah Pengantar Studi Islam, ada teman saya yang
bertanya mengenai doa. Dosen saya itu menjawab persis seperti yang dikatakan
pak sujiwo. Kata beliau, seharusnya kalau kita berdoa dan langsung diberi
begitu saja secara cepat, yang benar bukanlah senang tapi menangislah.
Ditakutkan tuhan itu tidak senang kepada kita, sehingga ia memberi agar kita
segera pergi darinya.
Pada realita, kita sering kali ketika dihadapkan dengan masalah
yang menghampiri hidup kita atau memiliki hajat tertentu, kita akan selalu
berdoa kepada Allah SWT. Celakanya, kita menganggap doa kita itu sebagai sebab
atas pemenuhan hajat atau keberhasilana kita dalam melewati masalah tersebut.
Hal ini tentunya meruapakan sebuah kekeliruan cara pandang kita
terhadap doa dalam kaitannya dengan pertolongan Allah dmana hubungan doa dan
pertolongan Allah merupakan relasi sebab akibat atau kausalitas. Kekeliruan
cara pandang ini kiranya perlu diluruskan sebagai disinggung oleh Syekh Ibnu
Athaillah dalam Kitab al-Hikam berikut ini:
لا يكن طلبك تسبباً إلى العطاء منه فيقل فهمك عنه .وليكن طلبك لإظهار العبودية وقياماً بحقوق الربوبية
Artinya: “jangan maknai permintaanmu sebagai sebab atas pemberian
Allah yang itu menunjukkan kekurang pengertianmu terhadapnya. Hendaklah sadari
bahwa permintaanmu adalah pernyataan kehambaan dan peenuhan atas hak-hak
ketuhanan”.
Menurut Ibn Athaillah, kausalitas doa dan pemberian Allah lazimnya
dipahami oleh mereka yang makrifatullahnya belum sempurna sehingga Allah
dipahami secara mekanis, bahwa doa merupakan sebab atas pemberiannya. Hal ini
berbeda dengan ahli makrifat yang memandang doa sebagai manifestasi dari
kehambaan mereka dan pemenuhan atas hak-hak ketuhanan.
Hikmah Ibn Athaillah ini diulas lebih lanjut oleh Syekh Syarqawi.
Menurutnya, segala bentuk ibadah dan amal saleh termasuk doa yang dapat
dipahami sebagai bentuk tawajuh seorang hamba kepada Allah jangan diniatkan
sebab anugerahnya. Niatkan itu semua sebagai bentuk pengabdian manusia kepada
Allah SWT. Penjelasan Syekh Syarqawi dapat disimak dalam redaksi sebagai
berikut:
لا يكن طلبك تسبباً إلى العطاء
منه) أى لا تقصد بطلبك أى توجهك له بالدعاء والأعمال الصالحة حصول النوال منه
وتعتقد أنه سبب مؤثر في ذلك (فيقل فهمك عنه) أى عن الله أى فلا تفهم السر والحكمة
في أمر الله عباده بالطلب وهو ما ذكره بقوله (وليكن طلبك لإظهار العبودية) أى
لإظهار كونك عبدا ذليلا ضعيفا لا غنى لك عن سيدك (وقياماً بحقوق الربوبية) فإن
الربوبية تقتضى التذلل والخضوع من المربوب، يعنى أن الله لم يأمر عباده بالطلب منه
إلا ليظهر افتقارهم إليه وتذللهم بين يديه لا لأن يتسببوا به إلى حصول ما طلبوه
ونيل ما رغبوا فيه. هذا هو فهم العارفين عن الله ومن هذا حاله لا ينقطع سؤاله ولا
رغبته وإن أعطاه كل مطلب وأناله كل سؤل ومأرب ولا يفرق بين العطاء والمنع فيكون
عبد الله في الأحوال كلها كما أنه ربه في الأحوال كلها وقبيح بالعبد أن يصرف وجهه
عن باب مولاه
Artinya, “(Jangan maknai permintaanmu sebagai sebab atas pemberian Allah), jangan niatkan permintaan dan tawajuhmu kepada-Nya melalui doa atau amal saleh untuk mendapat anugerah-Nya dan meyakininya sebagai sebab yang berpengaruh atas itu, (yang itu menunjukkan kekurangpengertianmu terhadap-Nya) terhadap Allah, yang itu menunjukkan kau tidak memahami rahasia dan hikmah perintah Allah untuk berdoa. Rahasia dan hikmahnya itu disebutkan Syekh Ibnu Athaillah sebagai berikut, (Hendaklah sadari bahwa permintaanmu adalah pernyataan kehambaan), yaitu untuk menyatakan dirimu sebagai hamba, hina, dhaif yang tidak bisa cukup daripada-Nya (dan pemenuhan atas hak-hak ketuhanan). Sifat ketuhanan menuntut kerendahan dan ketundukan para hamba. Allah tidak memerintahkan hamba-Nya berdoa kecuali untuk menyatakan kefakiran mereka terhadap-Nya dan kerendahan mereka di hadapan-Nya, bukan untuk mereka jadikan sebab demi mendapat permohonan dan meraih keinginan mereka. Inilah pemahaman ahli makrifat terhadap Allah. Dari sini permintaan dan permohonan mereka kemudian tak pernah putus sekalipun Allah telah mengabulkan permohonan dan memberikan permintaan serta hajat mereka. Mereka tidak membedakan pemberian dan penahanan Allah sehingga mereka tetap menjadi hamba Allah dalam keadaan apapun sebagaimana Allah adalah tuhan mereka dalam kondisi apapun. Adalah sebuah keburukan seorang hamba yang memalingkan wajah dari pintu Tuhannya,” (Lihat Syekh Sarqawi, Syarhul Hikam, Indonesia, Al-Haramain, tanpa catatan tahun, juz II, halaman 9).
Mengapa hubungan kausalitas doa dan anugerah Allah sebagai kekeliruan yang
mengandung bahaya? Anggapan keduanya sebagai hubungan kausalitas itu berbuntut
panjang. Ada konsekuensi logis dari cara pandang kausalitas tersebut. Syekh
Ahmad Zarruq mengulas masalah ini lebih jauh. Menurutnya, hubungan kausalitas
itu dapat mempengaruhi rasa syukur dan ridha kita terhadap Allah. Celakanya
kalau kita terjebak dan masuk ke dalam kelompok orang-orang yang kufur nikmat
dan tidak ridha atas putusan-Nya sebagai penjelasan Syekh Ahmad Zarruq berikut
ini:
ووجه انتفاء الفهم باعتقاد السببية
أنه إن أعطى لم يشكر وإن شكر كان شكره ضعيفا لملاحظته سببا في التحصيل، لأن الفرح
بالمنة دون استشعار سبب أقوى منه مع استشعاره، وإن منع لم يرض، وإن رضي فلا من حيث
رؤية اختيار الحق تعالى بل من حيث رؤية تقصيره وهو نقص. والمطلوب في ذلك ما ذكره
بأن قال وليكن طلبك لإظهار العبودية وقياماً بحقوق الربوبية
Artinya, “Letak ketidakpahaman terhadap-Nya karena logika kausalitas adalah bahwa jika diberi, mereka tidak bersyukur. Kalau pun bersyukur, rasa syukurnya kendur karena mereka memperhatikan sebab atas pemenuhan hajat mereka karena manusia biasanya lebih bahagia atas pemberian Allah tanpa memakai sebab dibanding sebuah pemberian-Nya dengan memakai sebab tertentu. Kalau tidak diberi, mereka tidak ridha. Kalau pun ridha karena tidak diberi, mereka tidak melihat pilihan Allah, tetapi melihat kelalaian diri mereka sebagai hamba Allah. Pandangan mereka seperti ini tidak sempurna. Tetapi yang dituntut dari mereka adalah seperti yang dikatakan oleh Syekh Ibnu Athaillah, yaitu “Hendaklah sadari bahwa permintaanmu adalah wujud pernyataan kehambaan dan pemenuhan atas hak-hak ketuhanan,” (Lihat Syekh Zarruq, Syarhul Hikam, As-Syirkatul Qaumiyyah, 2010 M/1431 H, halaman 141).
Hikmah
Syekh Ibnu Athaillah ini bukan sama sekali menyarankan kita untuk berhenti atau
tidak berdoa. Hikmah ini membuka pandangan kita terhadap doa sebagai ikhtiar
yang sama statusnya dengan bentuk ikhtiar manusiawi lainnya. Hikmah ini hanya
mengingatkan kita untuk menggeser cara pandang kita terhadap doa.
Hikmah
ini mengajak kita untuk menyadari siapa diri kita di hadapan Allah SWT. Oleh
karena itu hikmah ini mendorong kita untuk tetap berdoa kepada Allah dalam
kondisi apapun baik dalam menghadapi masalah yang signifikan maupun tidak,
dalam kondisi berhajat maupun dalam kondisi cukup, sebagai bentuk kehambaan
kita sebagai makhluk-Nya.
Dengan itu, bukan berarti kita harus berhenti berdoa. Namun perlu kesadaran lebih agar kita lebih baik dalam berdoa. Apapun keadaannya jangan lupa untuk terus berdoa yang disertai dengan kerendahan hati dan rasa takut kepada Allah. Jika doa itu belum juga terkabul, percayalah Allah akan mengambulkan tetapi mengundurnya, karena ia masih suka akan suaramu ketika melantunkan doa.
Dengan itu, bukan berarti kita harus berhenti berdoa. Namun perlu kesadaran lebih agar kita lebih baik dalam berdoa. Apapun keadaannya jangan lupa untuk terus berdoa yang disertai dengan kerendahan hati dan rasa takut kepada Allah. Jika doa itu belum juga terkabul, percayalah Allah akan mengambulkan tetapi mengundurnya, karena ia masih suka akan suaramu ketika melantunkan doa.
Sumber:
1. http://www.nu.or.id/post/read/84564/hakikat-doa-bagi-para-wali-allah-menurut-ibnu-athaillah
2. Hikmah belajar Mata Kuliah Pengantar Studi Islam di UNUJA
1. http://www.nu.or.id/post/read/84564/hakikat-doa-bagi-para-wali-allah-menurut-ibnu-athaillah
2. Hikmah belajar Mata Kuliah Pengantar Studi Islam di UNUJA
Paiton, 15 Januari 2019
Komentar
Posting Komentar
Silahkan Berkomentar asalkan tidak meyinggung SARA dan tetap menjaga toleransi demi keharmonisan bersama