Sejak masih duduk di bangku
Madrasah Aliyah, sering kali saya mengikuti kajian rutin kepenulisan dan lain
sebagainya yang diadakan oleh KIR An-Nur Giligenting. Sekitar dua tahun saya
aktif dalam kajian tersebut, sering kali saya dengar bahkan saya sendiri yang
mengeluhkan tentang sulit memulai menulis. Meskipun saya dan teman-teman sudah
memulai malah macet atau buntu di tengah jalan sehingga harus berhenti pada
pertengahan paragraf.
Entah apa yang menjadi penyebab
kemacetan tersebut. Padahal saya atau teman-teman sebelum menulis sudah merasa
ada bahan-bahan di pikiran untuk dituangkan. Memang begitu yang sering kami
rasakan, layaknya seorang prajurit yang habis amunisi.
Tentunya kemacetan tersebut
disebabkan oleh beberapa hal, namun pada saat itu kami kurang mengetahuinya.
Setidaknya, imajinasi tidak berkembang dan terlalu terikat dengan kenyataan
yang sesungguhnya. Padahal, seorang penulis hanya mengarang (menulis) cerita,
bukan melaporkan atau membuat reportase suatu peristiwa yang sesungguhnya. Saya
contohkan pada sebuah contoh penulisan cerpen saja. Cerpen disini kan bercerita
dan bukankah prinsip bercerita adalah mengembangkan atau merekayasa imajinasi?
Kata orang, biasanya sebuah cerita seringkali berangkat dari sesuatu yang
nyata. Penulis tergoda oleh sesuatu yang nyata dilihatnya, didengarnya, dan
dibacanya untuk dijadikan bahan sebuah cerita.
Memang benar bahwa cerita
fiksi (termasuk cerpen) merupakan ramuan fakta dan imajinasi. Berimajinasi atau
berfantasi adalah salah satu kelebihan manusia yang dianugerahkan Sang Khalik
dibanding makhluk lain. Karena manusia dikarunia otak untuk berfikir atau
berimajinasi.
Coba kita lihat ke belakang,
sejak kecil kita diperkenalkan dengan dongeng. Sehingga pada waktu yang terus
berjalan, kita pun mampu mendongeng dengan gayanya sendiri. Dalam bercerita
sering kali dibumbui fiksi dimana-mana atau sering melebih-lebihkan fakta.
Bukankah itu rekayasa imajinasi?
Seperti contoh berikut ini: “Wah
baju kamu bagus, merk terkenal kayaknya. Ini pasti produk luar negeri. Beli di negara
mana sih?” tanya Agus pada Nurul di sekolah. Karena Nurul merasa tersanjung,
langsung menjawab, “Ah, iya sih. Baju dari Paris. Cuma aku tidak beli, dikasih
sepupu yang baru pulang dari sana”. Agus hanya berdecak kagum, “Oo, begitu.
Bagus deh”.
”Aku jadi lebih kagum pada
kamu dan baju kamu”, lanjut Agus. Padahal, sebenarnya Nurul berbohong. Baju itu
dibelinya di pasar biasa, dan ia tidak punya sepupu atau siapa-siapa yang
berada di luar negeri. Nah, Nurul sudah mendongeng, bukan? Dan Agus itu boleh
percaya dan boleh juga tidak.
Tapi dalam pikirannya, telah
tertanamkan image bahwa Nurul adalah orang yang hebat, bukan orang sembarangan,
dan punya sepupu sebagai orang penting yang sering ke luar negeri.
Berimajinasi dalam menulis
cerita adalah suatu keniscayaan, akan tetapi harus tetap dalam koridor hukum
kausalitas, yakni hukum sebab-akibat. Nurul berkhayal tentang sepupunya yang
pulang dari Paris jadi masuk akal karena bajunya yang dipakainya adalah produk
bermerk keluaran pusat mode dunia, Paris. Kebetulan Agus memang tidak punya
pengetahuan tentang seluk-beluk keluarga Nurul.
Hal itu juga terjadi ketika
pengarang kawakan Seno Gumira Ajidarma menulis cerpen Pelajaran Mengarang. Ia
berimajinasi tentang seorang anak perempuan umur sepuluh tahun yang hidup dan
dibesarkan di sarang pelacur, karena ibunya memang seorang pelacur. Ia, anak
yang diberi nama Sandra itu, tak pernah mengenal siapa ayahnya. Ketika ibu guru
kelas V tempat Sandra bersekolah menyuruh murid-muridnya mengarang bebas dengan
judul Ibu, ia kesulitan untuk memulai menulis. Sandra tenggelam dalam
pikirannya sendiri tentang ibunya yang tiap malam kedatangan tamu laki-laki,
sementara ia kadang-kadang dititipkan ke kamar orang lain, atau kalau ia sedang
tertidur, ia dipindahkan ke bawah kolong tempat tidur. Sulit sekali ia
mengarang cerita tentang ibunya sendiri. Ketika jam pelajaran mengarang hampir
habis, Sandra hanya menulis satu baris: Ibuku seorang pelacur.
Meski Seno Gumira Ajidarma berimajinasi
tentang kehidupan seorang anak dengan ibunya yang pelacur dan tinggal di
kompleks pelacuran, tapi pastilah tak ada pembaca yang membantah bahwa itu
hanyalah sebuah kebohongan. Semua peristiwa yang diramu Seno dalam cerpen itu
tunduk pada hukum kausalitas.
Oleh sebab itu, biarkanlah
imajinasi anda mengembara secara bebas dalam batas-batas kausalitas yang
diperlukan. silahkan tingkat kreativitas menulisnya.
SELAMAT BERKARYA
Komentar
Posting Komentar
Silahkan Berkomentar asalkan tidak meyinggung SARA dan tetap menjaga toleransi demi keharmonisan bersama