Nahdlatul
Ulama’ adalah salah satu ormas terbesar yang berada di Negara Indonesia.
Organisasi yang berdiri pada 31 januari 1926 ini sudah tidak diragukan lagi
sepak terjangnya bagi eksistensi Negara Indonesia. Sejak sebelum Indonesia
merdeka, nahdlatul ulama’ (NU) sudah menunjukkan kepeduliannya dengan ikut
serta menjadi salah satu pemberani yang selalu siap menentang terhadap
penjajahan. Setiap harinya selalu digunakan untuk memperjuangkan kemerdekaan
Indonesia.
Salah satu
contoh jelas dari sepak terjang nahdlatul Ulama’ yang juga meliputi para kiai
dan santri, terekam jelas pada persitiwa 10 november 1945. Kejadian tersebut
sampai hari ini dikenal dan disahkan sebagai hari pahlawan nasional. Seandainya
tidak ada respon dari Nahdlatul ulama’ yang memandang penting untuk menggelorakan
perjuangan (resolusi jihad) pada 22 Oktober 1945, mungkin peristiwa 10 november
tidak akan pernah terjadi.
![]() |
Dok Google |
Sebagai rakyat
sejati Indonesia, para kiai dan santri tetap dengan kebulatan hatinya untuk
terus menggelorakan semangat dalam upaya memperjuangkan kemerdekaan. Meskipun
para penjajah menjanjikan berbagai tawaran manis kepada para kiai, asalkan
dapat tunduk kepada pihak penjajah, tawaran tersebut tetap tidak bisa
menggiurkan dan merubah kebulatan hati sebagai rakyat sejati.
K Hasyim pernah
ditangkap dan dipenjara karena disangka telah menghasut rakyat untuk menentang
penjajah. Penangkapan ini juga dikarenakan dengan penolakan
masyarakat Islam dengan “Sikerei”. Sikerei merupakan upacara tentara Jepang
untuk menyembah Dewa Matahari yang disimbolkan dengan menundukkan badan
menyerupai gerakan ruku’. Hadratussyaikh tidak mau melakukan sikerei karena ini
bertentangan dengan agama islam dan juga merupakan salah satu bentuk
penyembahan kepada selain Allah. Bahkan dengan tegas Hadratussyaikh menyatakan
bahwa “Sikerei itu haram”. Sehingga, rakyat
antusias dalam menggelorkan semangatnya berjuang melawan kedzaliman yang
dilakukan penjajah. Maka tidak heran jika KH Wahab Hasbullah berdawuh demikian,
“Kalau penahanan ini (penahanan K Hasyim) dianggap sebagai simbol penaklukan,
tuan salah besar. Para santri bisa saja sangat taklid kepada kiai. Mereka
berpegang teguh pada al-Qur’an dan Hadits, sehingga tangan dan hati mereka akan
tergerakkan untuk memberantas segala kedzaliman”.
Hal ini
terbukti, dari bagaimana ketidak terimaan para santri dan rakyat ketika K
Hasyim dipenjara. Mereka berbondong-bondong mendatangi tahanan untuk niat
menjemput gurunya, walau tanpa sejata yang hanya bermodal keberanian dan
takdzim kepada sang guru. Bagi mereka, mati lebih baik jika harus menyerah
kepada kedzaliman dan sembunyi pada ketakutan tanpa ada gerakan untuk berusaha
melepaskan gurunya.
Perlawanan
terhadap penjajah juga dimanfaatkan dengan baik ketika pihak jepang menawarkan
pelatihan militer untuk pemuda-pemuda Indonesia dengan perjanjian akan
memerdekakan Indonesia dan beliau pun menerima penawaran tersebut dengan syarat
hanya untuk menjaga pertahanan dalam negeri, tidak untuk masuk HEIHO melainkan
berdiri sendiri membentuk barisan sendiri yaitu barisan HISBULLAH. Kemudian
atas perintah KH.Hasyim As’ari, gus Wahid Hasyim memerintahkan kepada
departemen agama untuk menyebarluaskan berita pembentukan HISBULLAH ke setiap
pesantren-pesantren, setidaknya ada empat atau lima santri dari setiap
pesantrennya. Diharapkan dengan pelatihan ini, para santri lebih baik dalam
kelincahannya berperang melawan penjajah.
Tahun 1945, Jepang mengalami kekalahan dan
pasukannya melemah karena datangnya sekutu hingga kemudian pada tanggal 11
Agustus 1945, Perdana Menteri Jepang, Kaiso menjanjikan kemerdekaan kepada
Indonesia. Saat itu juga Presiden Soekarno mengirimkan utusannya untuk meminta
KH. Hasyim Asy’ari agar membantu mempertahankan kemerdekaan Indonesia. KH.
Hasyim Asy’ari menerima permintaan tersebut dengan membentuk barisan santri
untuk melawan sekutu di Surabaya yang dikenal dengan sebutan Resolusi Jihad.
Soekarno melalui utusannya juga meminta jawaban
dari pertanyaannya kepada KH.Hasyim As’ari yaitu “Apakah hukumnya membela tanah
air bukan membela Allah,membela Islam atau membela Al-Qur’an?”. Utusan Bung
Karno sempat mengulangi pertanyaan tersebut sampai dua kali.
Kemudian beliau menjawab saat diadakannya fatwa
jihad 24 September 1948 di dalam gedung GP Ansor Surabaya bahwa “Hukum membela
negara dan melawan penjajah adalah fardhu ‘ain bagi setiap mukallaf yang berada
dalam radius Masha Assyafa. Perang melawan penjajah adalah Jihad Fisabilillah.
Oleh karena itu, umat islam yang mati dalam peperangan itu adalah Syahid dan
mereka yang mengkhianati perjuangan umat islam dengan memecah belah persatuan
dan menjadi kaki tangan penjajah wajib hukumnya dibunuh”. Hal ini dapat
diartikan bahwa setiap umat Islam wajib memperjuangkan tanah airnya demi
kemuliaan Islam.
Bung Tomo adalah salah satu pejuang kemerdekaan
pun datang dan bertemu langsung kepada KH.Hasyim As’ari untuk meminta wejangan
dan nasehat. Beliau pun berkata kepada Bung Tomo yakni “Awali dan akhiri pidato
dengan menyebut kebesaran Allah Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar”.
Bung Tomo pun menyatakan orasinya kepada
seluruh rakyat Indonesia bahwa “Tentara Inggris telah menyebarkan pablet-pablet
yang memberikan ancaman kepada seluruh rakyat dan mereka memerintahkan kepada
rakyat Indonesia harus menyerahkan semua senjata yang berhasil direbut dari
tangan tentara Jepang dan mereka pun meminta rakyat Indonesia datang kepada
mereka dengan mengangkat tangan dan membawa bendera Merah Putih sebagai tanda
bahwa Indonesia telah kalah”. Bung Tomo menghimbau kepada seluruh rakyat untuk
melawan tentara Belanda karena beliau yakin bahwa Tuhan akan melindungi kita
semua dan mengakhiri pidatonya dengan 3 kali takbir.
Sebagian besar para pemuda sudah berkumpul di
Surabaya. Dan pemuda Jombang pun berangkat ke Surabaya pagi itu juga.KH.Hasyim
As’ari memberikan nasehat sebelum keberangkatan mereka ke Surabaya bahwa
“Innamal a’malu binniat” artinya segala tindak perbuatan itu bergantung pada
niat. Jihad hendaknyalah dilakukan dengan penuh kasih dan sesuai dengan aturan
sebab jihad adalah jalan kebenaran menuju ridho Allah SWT. Rasulullah saw
bersabda “jihad yang paling besar itu adalah jihad melawan nafsu dalam diri”.
Film ini ditutup dengan wafatnya Hadratussyaikh
KH. Hasyim Asy’ari, dimana pada saat itu para pejuang Islam masih membutuhkan
banyak nasehat dari beliau dan perjuangan pun dilanjutkan oleh putra sulung
beliau, KH. Wahid Hasyim.
Jika ada kelebihan sudah pasti ada kekukarangan
karena semua hal tak ada yang sempurna, karena kita bukanlah Sang Pencipta Yang
Maha Agung. Film ini juga memiliki kekurangan atau mungkin bisa saya katakan
keberanian sang sutradara dalam menampilkan adegan dimana Harun menembak mati
Briggadir Mallaby. Karena sampai detik ini pun sejarah belum mencatat siapa
nama pembunuh Briggadir Mallaby. Namun Film ini mengajarkan dan mengingatkan
kita untuk cinta tanah air dan membangun semangat untuk membela Negara Kesatuan
Republik Indonesia juga mencoba meluruskan bahwa Islam dan Nasionalisme
bukanlah kutub yang berlawanan, keduanya bisa berjalan seiringan dengan izin
Allah. Dimulai dengan Islam kemudian nasionalisme. Begitulah petikan percakapan
antara Hadratussyaikh dengan putra beliau, Wahid Hasyim. Film ini sangat
disarankan untuk ditonton supaya mengingatkan kembali perjuangan para Ulama dan
pejuang Islam dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
“Semua orang yang melawan penjajah itu adalah
pahlawan. Tidak ada yang lebih berjasa daripada yang lain kalaupun ada yang
melupakan jasa mereka juga tidak mengapa karena Allah menjanjikan tempat yang sebaik-baiknya
bagi para Syuhada”.
Judul Film :
Sang Kyai
Produser :
Gope T Samtani
Sutradara :
Rako Prijanto
Penulis :
Anggoro Saronto
Pemain :
Ikranagara (KH Hasyim Asy’ari), Christine Hakim (Masrurah/nyai Kapu), Adipati
Dolken (Harun), Miriza Febriyani Batubara (Sari), Agus Kuncoro Adi (KH Wahid
Hasyim), Dimas Aditya (Hamzah), Royham Hidayat (Khamid), Ernestsan Samudera
(Abdi), Ayes Kassar (Baidhowi), Boy Permana (KH Karim Hasyim), Dayat Simbaia
(KH Yusuf Hasyim), Dymas Agust (KH Mas Mansur), Andrewtigg (Brigadir Mallaby),
Arswendi Nasution (KH A Wahab Hasbullah), Norman Rivianto Akyuwen (kang
Solichin).
Tanggal
Edar
: 30 Mei 2013
Tayang
Kembali : 9 Januari 2014
Waktu
: 2 jam16 menit 27 detik
Presensi :
Abdur Rahmad
Komentar
Posting Komentar
Silahkan Berkomentar asalkan tidak meyinggung SARA dan tetap menjaga toleransi demi keharmonisan bersama