Apa kabar guys? Selamat berjumpa kembali, semoga bernilai ibadah.
Aamiin… Mengingat postingan sebelumnya, saya sudah pernah
memposting tulisan tentang Madura. pada kali ini saya kan membahas tentang
madura lagi, namun dengan judul yang berbeda. Ayooo siapa ini yang dari madura?
madura mana sihhh? Bangkalan? Sampang? Pamekasan? Atau Sumenep yang berada di
paling ujung Madura? sebutkan saja di komentar dibawah ya.
Madura. apa sihh yang anda fikirkan ketika mengenal atau mendengar
kata madura? apakah yang terfikirkan dengan sebuah pulau yang terdiri dari
empat kabupaten? Terfikirkan sebuah budaya kerapan sapi? Terlintas tempat
wisata dan budaya? Mengenal dengan pak sakera? Terfikirkan sebuah daerah tempat
lahir Syaikhona Kholil? Tempat lahir Bapak Mahfud MD dan D Zawawi Imron?
Terkenal dengan Caroknya? Atau terkenal dengan Pesantren , Kiai, dan Santrinya?
Jika hal itu semua terlintas dalam fikiran kalian, sama sekali tidak ada yang
salah.
Madura, secara geografis, terletak di sebelah timur laut Pulau
Jawa. Selat Madura disebelah barat dan selatan menjadi pemisah antara Pulau
Madura dan Jawa. Selat Madura mengubungkan Laut Jawa dengan Laut Bali.
Sedangkan di sebelah timur dan utara, berbatasan dengan Selat Bali dan Laut
Jawa. Pulau Madura, terdiri dari empat kabupaten, yakni Bangkalan, Sampang,
Pamekasan, dan Sumenep.
Dalam tulisan kali ini, saya
ingin mengemukakan mengenai seorang yang berpegaruh di tengah-tengah masyarakat
(madura). lebih mudahnya kalau kita sebut dengan seorang pemimpin saja.
Dimanapun dunia ini, akan selalu ada pemimpin baik formal maupun informal.
Tetapi, saya lebih kepada pemimpin informal di Madura. Dalam masyarakat Madura,
yang diakui sebagai pemimpin informal ada dua, yaitu Kiai dan Blater. Kiai dan
blater merupakan dua elite lokal dalam kehidupan sosial politik masyarakat
madura.
Dahama dan Bhatnager (1980 dalam Mardikanto 1991: 204) menjelaskan
tentang definisi pemimpin. Apa yang dimaksud pemimpin adalah seseorang yang
diakui atau memperoleh pengakuan dari seluruh anggota sistem sosialnya sebagai
yang berhak atau memiliki kekuasaan untuk dalam situasi tertentu yang menggerakkan
orang lain (yang dipimpinnya) untuk mencapai tujuan bersama. Sedangkan
informal, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti tidak resmi.
Dari pengertian pemimpin dan informasl diatas, dapat disimpulkan
mengenai maksud dari pemimpin informal (informal leader). Pemimpin informal
adalah kepemimpinan yang yang diperoleh dengan tahapan atau proses tidak resmi.
Pemimpin informal tidak membutuhkan surat keputusan (SK) ataupun pemilihan
melalui lembaga resmi pemerintah. Kepemimpinan seperti ini hanya butuh
pengakuan dari masyarakat, misalnya Tetua Adat, Kiai, Jawara, dan lain
sebagainya.
Kuntowijoyo menyebut Madura sebagai “Pulau seribu pesantren”.
Karena memang memiliki cukup banyak ‘Stok” kiai, mulai dari kiai langgar, kiai
pesantren, kiai tarekat “mursyid”, sampai “kiai’ dukun. Masing-masing mereka
memiliki pengaruh beragam dalam masyarakat, sesuai dengan asal-usul genealogis
(keturunan), kedalaman ilmu agama yang dicapai, kepribadian, ketiaan menyantuni
umat, dan faktor pendukung lainnya.
Dari pernyataan Kuntowijoyo diatas, maka tidak heran jika bagi
orang Madura, elite utama pada elemen masyarakat adalah seorang kiai, yakni
orang yang pemahaman keagamaannya mendalam serta mampu mengaplikasikannya
dengan baik yang terwujud dalam keluhuran budi pekertinya.
Seorang kiai yang sesuai dengan pengertian diatas, orang yang
sangat berpengetahuan dalam bidang keagamaan dan masyarakat, lazim disebut
elite. Karena merupakan satu atau kelompok individu yang memiliki pengaruh
menentukan kehidupan dan perubahan pada masyarakat. Walaupun perubahan
masyarakat tidak sepenuhnya tergantung pada peran yang ia atau mereka mainkan.
Orang-orang seperti ini akan selalu dijumpai dalam masyarakat manapun.
Dalam istilah Laswell, elite adalah mereka yang memiliki dan
mendapatkan lebih dari apa yang dimiliki dan didapatkan oleh orang lain.
Sedangkan, menurut Pareto, mereka yang memiliki dan mendapatkan lebih dari apa
yang dimiliki dan didaptkan oleh orang lain itu, ada yang memegang kekuasaan
(governing elite) dan ada yang diluar kekuasaan (Non-governing elite). Jadi,
pada intinya elite adalah orang-orang yang yang karena kelebihannya kemudian
memiliki pengaruh serta mendapatkan status dan kedudukan tinggi dalam kehidupan
masyarakat.
Pada masyarakat Madura, kiai menempati kelas sosial paling atas.
Stratifikasi sosial di Madura jika dilihat dari dimensi agama hanya ada dua
lapisan. Yaitu Santri (Santre) dan bukan santri (banne santre). Santri adalah
mereka para pelajar yang berada dan sedang menuntut ilmu di Pondok Pesantren.
Sedangkan, bukan santri adalah mereka yang tidak pernah nyantri kepada kiai
atau tidak pernah mondok di Pondok Pesantren.
Masyarakat Madura dikenal dengan sangat religius. Keislaman mereka
disamakan dengan keislaman di Aceh dan Minang. Dari saking terkenal, sering
pula dikatakan bahwa masyarakat Madura seratus persen islam. Maka tidak heran,
jika kiai menempati posisi sentral dalam kehidupan masyarakat Madura. Bukan
hanya dalam aspek keagamaan, melainkan hampir pada semua lini kehidupan. Karena
kiai adalah pemuka agama (islam), sementara islam adalah agama yang sudah
mendarah daging dalam sanubari masyarakat Madura.
Di daerah saya, salah satu Kecamatan di Kabupaten Sumenep, peranan
kiai melampaui berbagai aspek kehidupan. Pengaruhnya melampaui institusi-institusi
kepemimpinan lainnya. Kenapa bisa saya katakan demikian? Karena memang yang
sering terjadi di daerah saya, peran kiai dalam masyarakat bukan hanya mengenai
agam saja. Namun, hampir semua masalah yang ada akan mengadu kepada kiai. Seperti halnya yang sering terjadi,
konsultasi agama, masalah keluarga, pengobatan penyakit, baik fisik dan rohani,
meminta barakah melancarkan rezeki, solusi mencari jodoh, ingin membangun
rumah, bercocok tanam, konflik sosial, karier, politik, dan lain sebagainya.
Dalam masalah umat, kiai dijadikan rujukan sebagai wasilah untuk memcahkannya.
Di awal, saya katakan bahwa kiai merupakan jabatan yang diberikan
masyarakat bukan di dapatkan secara resmi. Tetapi, letak kekuatan kepemimpinan
kiai di masyaraakat melebihi pemimpin lainnya. Seorang Kiai tidak ada yang
menggaji atau memberi honor, melainkan bermodal keikhlasan demi kemaslahan
umat. Penuh kasih dan sayang dengan selalu siap melayani kebutuhan masyarakat.
Sehingga masyarakat merasa puas berada di lingkungan seorang kiai.
Kepribadian yang baik dari seorang kiai inilah, yang sering kali
menimbulkan respon positif dari masyarakat. Misal, sebagai timbal balik atau
balasannya, masyarakat akan siap patuh, tunduk, dan mengabdi kepada kiai.
Sehingga kedekatan kiai dan masyarakat sangat dekat, bagaikan kedekatan orang
tua dan anak yang selalu siap ada dalam berbagai kebutuhan. Selain itu, dawuh
kiai selalu disakralkan oleh masyarat Madura.
Peranan kiai yang besar, dapat dialacak dari akar sejarahnya.
Seperti, disaaat Madura yang berusaha melepaskan diri dari penjajahan. Para
kiai lah yang berada di garda depan memimpin umat melawan ketidakadilan
kolonial. Di samping itu, keberadaan Pesantren di Madura yang diasuh oleh para
kiai yang tersebar di hampir setiap pelosok desa sudah sejak dahulu menjadi
pusat pendidikan. Sebelum lembaga pendidikan formal ada, semisal sekolah dan
masrasah ada.
Sehingga dari itu, sejak dahulu masyarakat Madura sudah tercerahkan
dalam bidang agama. Oleh karena itu, tidak berlebihan jika masyarakat madura
sangat menghormati kiai dan menjadikan sebagai pemegang otoritas dalam
kehidupan masyarakat. Hal ini terus berlangsung sampai saat ini, seorang kiai
bagi masyarakat Madura tetap disakralkan dan tidak berani bertindak (melawan)
dengan sembarangan terhadapnya. Kiai tetap guru dan panutan masyarakat yang
patut dijadikan wasilah untuk mencapai kehidupan dunia dan akhirat yang baik
dan selamat.
Paiton, 07 Januari 2019
Komentar
Posting Komentar
Silahkan Berkomentar asalkan tidak meyinggung SARA dan tetap menjaga toleransi demi keharmonisan bersama