Pagi ini matahari dapat kunikmati di daerah Banyuwangi. Hangatnya
khas banget dan cocok untuk menghangatkan badan. Sajian kopi dan kue sudah
tertata di atas meja. Kibulan asap rokok juga memeriahkan pagi.
Dalam sebuah ruangan tamu, sudah ada beberapa orang sedang menunggu
sang tuan rumah. Ada banyak tujuan yang masing-masing orang tidak sama. Tapi
tetap dalam ranah mengharap barakah.
Kami bertamu ke Pondok Pesantren Nurul Abror Alas Buluh Banyuwangi.
KH Fadlurrahman Zaini sebagai pengasuh sangat menyambut ramah terhadap para
tamunya, termasuk aku dan teman-teman. Kami dijamu dengan baik.
Disela-sela banyak tamu yang menghadap, beliau menyampaikan dawuh
yang sangat memotivasi pagi ini. Sebelumnya, ada tiga tamu yang meminta idzin kepada
beliau untuk memperlebar jalan. Pasalnya, jalan di daerah tiga orang tersebut
sangat sempit dan kebetulan tanah yang akan di potong untuk pelebaran jalan masih
milik keluarga K Fadlur.
"Maksud kedatangan kami ini, ingin meminta idzin (madura;
ethi) untuk proses pelebaran jalan di tanah kiai", jelas salah satu dari
ketiga orang tersebut.
Namun dikarenakan tanah tersebut bukan milik kiai sendiri, hanya
saja milik dari kakak iparnya yang saat ini berada di Madura. Sehingga, beliau
tidak berani mengambil keputusan apapum mengenai permintaan tersebut.
"Mohon maaf sebelumnya, tanah itu milik kakak ipar saya yang
lagi di Madura. Saya tidak berani memberi idzin kepada kalian. Bukannya saya
tidak ingin memberi, seandainya milik saya silahkan saja", jawab dengan
jelas kiai fadlur.
Menurut penuturannya, sang pemilik saat ini sedang mengalami sakit
stroke. Ia sudah tidak dapat bicara dan sering lupa pada orang.
"Beliau saat ini masih sakit stroke, tidak fasih bicara dan
sering lupa pada orang. Tetapi, saya usahakan untuk membantu proses idzin tersebut",
tambah kiai fadlur.
"Iyaa kiai, kami siap menunggu keputusan tersebut. Kami merasa
lega dapat sambutan baik dari kiai", tanggap satu orang dari ketiga tamu tersebut.
"Akan saya usahakan, proses pelebaran jalan tersebut untuk kebaikan bersama. Semoga saja kakak ipar
saya masih dapat dimintai persetujuannya", harap kiai.
Sungguh seorang kiai yang wara'. Beliau sangat hati-hati dalam
pengambilan suatu keputusan. Karena, kata beliau, lebih baik dimarahi
masyarakat dari pada harus dapat hukuman (dhuka) Allah SWT.
Mungkin hal itu sudah jelas bukan miliknya. Pernah juga suatu
kejadian, ada tetangga beliau yang ingin membeli buah mangga di rumah (dhalem)
beliau di Banyuwangi. Namun beliau menjawab tidak berani menjual tanpa idzin
pemiliknya.
"Mohon maaf, saya tidak ada hak untuk menjualnya. Pemiliknya
masih keluar. Jika berkenan, silahkan tunggu sebentar", kata kiai fadlur
kepada orang yang ingin membeli mangga tersebut.
Ternyata, pemilik yang dimaksud adalah istrinya sendiri. Beliau
menyampaikan demikian, karena beliau tidak pernah mendapatkan pemasraan hak kepunyaan
tersebut dari istrinya.
"Bukankah ini adalah miliknya nyai (istri) ajunan kiai",
kata orang tersebut.
"Memang benar. Tapi saya tidak pernah mendapat pemasrahan
tersebut. Jadi hak saya tidak ada untuk mengambil tindakan tersebut", tegas
kiai fadlur.
Sekecil-kecilnya masalah, beliau masih bersikap hati dalam
bertindak. Karena, hal tersebut sangat dilarang Agama dan tentunya akan
mendapat dosa bagi pelakunya.
Semoga kita sebagai santrinya dan siapapun kita, dapat meneladani
sikap beliau. Kita bisa memetik hikmah untuk kemudian di realisasikan ke
kehidupan sehari-hari. Aamiin yaa rabb.
Alas Buluh, 11 Januari 2019
Izin Share dan save mas
BalasHapus