![]() |
Dok Google |
Jauh sebelum agama-agama datang ke Indonesia, masyarakat Indonesia
sudah memiliki kepercayaan yang dikenal dengan Animisme dan Dinamisme. Animisme
adalah kepercayaan yang meyakini bahwa jiwa atau roh leluhur yang telah
meninggal mempunyai kekuatan spiritual dan dapat mempengaruhi kehidupan
keturunannya. sedangkan Dinamisme adalah kepercayaan yang meyakini adanya
kekuatan ghaib atau mistis yang terdapat pada benda-benda tertentu, misalnya
pemujaan terhadap batu atau pohon yang besar, dan lain sebagainya.
Setelah itu baru datang agama Hindu dan Buddha. Agama hindu dan
buddha berasal dari Jazirah India yang sekarang meliputi wilayah negara India,
pakistan, dan bangladesh. Kedua agama ini muncul pada dua waktu yang berbeda
(hindu: sekitar 1500 SM, buddha: sekitar 500 SM), namun perkembangannya di
Indonesia hampir bersamaan. Terkahir, agama Islam datang sebagai agama yang
terakhir datang di indonesia. Namun, meskipun agama Islam datang terakhir,
tidak membuat islam sedikit pengikut. Justru islam lebih mayoritas berkembang
pesat di Indonesia.
Kenapa islam berkembang begitu pesat? Karena penyebaran islam
diwarnai dengan kedamaian, ramah, dan tidak mengenal kata memaksa. Seperti
halnya yang dicontohkan oleh Walisongo sebagai perintis penyebaran agama islam
ditanah jawa. Para walisongo menyebarkan islam dengan mensenyawakan keislaman
sebagai esensi dengan kenusantaraan dengan warisan budaya dan tradisinya.
Dengan demikian, nilai-nilai islam universal dan inklusif dapat diterima dengan
damai oleh masyarakat.
Cara penyebaran islam yang demikian terus direalisasikan di
Indonesia misalnya yang dilakukan oleh para ulama dan kyai Nahdlatul Ulama’
(NU) dan Pesantren. Islam terus
dikembangkan di Indonesia dengan cara yang begitu halus, penuh toleransi, tidak
memaksakan sehingga islam dapat tersebar dengan luas dan diterima oleh
masyarakat luas dengan kemauan sendiri. NU sebagai ormas islam terbesar di
indonesia yang berpaham pada Ahlussunnah wal Jamaah (ASWAJA) terus mendialogkan
islam dengan tradisi yang sudah berkembang di indonesia. Tradisi-tradisi yang
sudah lama berkembang di indonesia tetap dijaga dengan baik, bahkan di
modifikasi dengan ajaran islam, langkah ini dipandang tepat dan cepat utnuk menyebarkan
islam di indonesia.
Langkah penyebaran yang seperti ini membuat islam di Indonesia
sangat berbeda jauh dengan Islam di Arab. Perbedaanya dari segi penyebaraannya
dan coraknya yang penuh dengan kedamaian. Hal ini yang membuat islam di
Indonesia disebut sebagai Islam Nusantara, yaitu islam yang berkembang sesuai
dengan tradisi-tradisi yang berada di nusantara (Indonesia).
Pada Muktamar ke-33 Nahdlatul Ulama’ yang dihelat di Jombang, Jawa
timur, 1-5 Agustus 2015, membawa tema penting, yakni “Meneguhkan Islam
Nusantara untuk Peradaban Indonesia dan Dunia”. Popularitas islam nusantara
memang relatif baru. Sebelumnya, kita mengenal gagasan “Pribumisasi Islam” di
era Gus Dur. Bagi Gus Dur, islam sebagai agama universal harus dibumikan ke
dalam budaya lokal. Tentunya dengan adanya gagasan ini diharapkan agara
msayarakat indonesia dapat beragama sesuai dengan budaya indonesia.
Selanjutnya, gagasan tersebut berkembang menjadai “Islam Indonesia”, dan kini
lebih luas lagi dipopulerkan menjadi istilah “Islam Nusantra”. Dari sinilah
Islam Nusantara mulai terkenal ke seluruh pelosok negeri.
Menurut Abdullah Ubaid dalam sambutannya sebagai editor di buku
yang berudul “Nasionalisme dan Islam Nusantara”, menyampaikan bahwa ada tiga
indikasi dari islam nusantara. Menurutnya, tiga point tersebut dapat dijadikan
sebagai penanda bahwa islam nusantara merupakan perwujudan nilai-nilai islam
yang sudah berakultrasi dengan budaya lokal.
Pertama, relasi yang
kuat antara agama dengan tradisi lokal. Karena itu, ajaran islam ala ulama
islam nusantara bukan bak gelombang tsunami yang meluluhlantakkan tradisi yang
sudah mengakar di masyarakat. Namun, menciptakan ruang-ruang dialog dan
negoisasi yang berujung pada kesepakatan bersama untuk saling beriasimilasi dan
menerima dengn lapang dada. Oleh karena itu, munculla ritual-ritual agama yang
sudah kawin dengan budaya masyarakat, seperti tahlilan, wetonan, muludan, dan
seterusnya.
Kedua, keberpijakan
agama terhadap Tanah Air (bumi). Hal ini dibuktikan dengan gerakan ulama-ulama
Islam Nusantara dalam membela kemerdekaan, mendirikan negara, dan mengawal
transisi kepemimpinan. Mereka menolak kehadiran penjajahan bangsa asing.
Bahkan, pesantren diajdikan basis perlawanan terhadap imperialisme, baik
imperialisme politik maupun imperialisme kebudayaan. Juga, turut menyusun
konstitusi nasional dengan tetap berpijak pada agama dan tradisi.
Ketiga, dengan
kecintaanya pada tradisi dan tanah air, islam nusantara terbukti dalam sejarah
tidak pernah memberontak terhadap pemerintah yang absah. Sebab, pemberontakan
dianggap pengkhianatan terhadap negara
yang telah dibangun bersama.
Pemikiran ulama nusantara yang seperti ini, bisa jadi karena faktor
adanya agama dan kepercayaan yang sudah mmengakar kuat di indonesia. Selain
itu, bisa jadi karena islam yang datang ke nusantara sudah yang
malang-melintang dan banyak makan asam garam. Menurut Ubaid, alasannya adalah
islam telah mengalami dialog intensif dengan berbagai peraadaban besar dunia
seperti Turki, India, Tiongkok, dan lainnya. Akibatnya, ketika sampai di
Nusantara, islam telah tampil dengan kondisi yang sudah matang.
Paham Ahlussunnah wal Jamaah yang menjadi paham Nahdlatul Ulama
yang telah meluncurkan Islam Nusantara, memiliki karakteristik tasamuh (toleransi/fleksibelitas),
tawassuth (moderasi), tawazun dan I’tidal (menjaga keseimbangan).
Karakteristik tersebut menjadi roh dari islam nusantara. Sehingga dalam
aktualitasnya, islam nusantara memunculkan wajah seperti yang sudah disebutka
diatas yaitu, ramah, damai, santun, dan menyejukkan. Sebab, misi dan ajarannya
dapat selaras dan senapas dengan konteks sehingga terjadi akulturasi dengan
kultur sosial masyarakat disekitarnya. Dengan lenturnya ajaran islam nusantara
dengan masyarakat sekitar menjadikan Islam Nusantara dinamis dan sumber
inspirasi umat.
Paiton, 05 Januari 2019
Komentar
Posting Komentar
Silahkan Berkomentar asalkan tidak meyinggung SARA dan tetap menjaga toleransi demi keharmonisan bersama