![]() |
Dok Google |
Tempat
yang sering banyak digunakan adalah mushalla kampus. Selain digunakan untuk
beribadah, mushalla juga dijadikan untuk menenangkan diri atau melepas lelah
atau juga bisa untuk berdiskusi dan menyelesaikan tugas. Maka tak heran jika,
mushalla kampus selalu dipadati oleh mahasiswa mulai dari pagi sampai sore.
Waktu
pun terus berlalu hingga jam menunjukkan jam setengah dua belas. Waktu adzan
dzuhur akan segera tiba. Ad seseorang yang datang (saya tidak sebut namanya)
yang beberapa hari ini sudah stand by adzan dzuhur. Entah beliau itu siapa, apa
memang ditugaskan oleh pihak kampus atau hanya berkeinginan sendiri untuk adzan.
“Punya
siapa cargher ini?”, tanya bapak itu kepada mahasiswa yang berada di dekat
charger itu. Kebetulan di stopkontak yang diapakai untuk menyambungkan daya
mixer microphone kepakai oleh mahasiswa untuk mengecas laptopnya.
“tidak
tahu pak, cabut aja”, jawab salah satu mahasiswa kepada bapak itu.
Setelah
masuk waktu adzan dzuhur, bapak itu yang mengumandangkan adzan. Beliau juga
yang membaca dzikiran untuk menanti para mahasiswa yang mau shalat jamaah.
Biasanya, yang memimpin shalat jamaah adalah dosen yang juga mengikuti shalat
jamaah. Namun, pada siang ini tidak ada dosen yang berjamaah di mushalla.
Sehingga bapak itu juga yang bertindak menjadi imam shalat.
Sebelum
saya melanjutkan tulisna ini, alngkah baiknya jika saya mengutip bagaimana
seharusnya imam shalat pada shalat dzuhur dan ashar. Mungkin sudah lazim
diketahui bahwa, pada shalat dzuhur dan ashar, imam tidak mengeraskan suaranya.
Berbeda dengan shalat maghrib, isya’ dan subuh yang memang dikeraskan dalam
melantunkan fatihahnya.
Pernyataan
ini berbeda terbalik seratus delapan puluh derajat dengan yang
terjadi pada siang ini. Bapak itu malah mengeraskan bacaan fatihanya. Entah itu
karena faktor lupa atau memang tidak mengikuti bagaimana seharusnya untuk
menjadi imam shalat dzuhur.
Dikutip
dari web NU Lampung, bahwasanyaUstad Mahfudz (Sekretaris Lembaga Bahtsul Masail
NU Lampung) pernah menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh jamaah. “mengapa
Sholat Dzuhur dan Ashar membaca ayat tidak dikeraskan seperti Sholat Subuh,
Magrib, dan Isya?”, kurang lebih seperti pertanyaannya. Berikut jawaban dari
ustad Mahfud!
Shalat Dzuhur
dan Ashar bacaannya tidak dikeraskan seperti Sholat Shubuh, Maghrib, dan Isya’
adalah karena itba’ Rasul, mengikuti cara Rasul sholat. “Sholluu kamaa
roaitumuunii usholli” (“sholatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku
sholat.” (Muttafaqun ‘alaihi)).
Dalam
kitab I’anah at-Thalibin di uraikan alasannya dengan jelas, sebagaimana teks
berikut,
قَوْلُهُ:
(يُسَنُّ الْجَهْرُ) أَيْ وَلَوْ خَافَ الرِّيَاءَ قال ع ش وَالْحِكْمَةُ فِي
الْجَهْرِ فِي مَوْضِعِهِ أَنَّهُ لَمَّا كَانَ اللَّيْلُ مَحَلَّ الْخَلْوَةِ
وَيَطِيْبُ فِيْهِ السَّمْرُ شُرِعَ الْجَهْرُ فِيهِ طَلَبًا لِلَذَّةِ مُنَاجَاةِ
الْعَبْدِ لِرَبِّهِ، وَخُصَّ بِالْأَوَّلَيَيْنِ لِنَشَاطِ الْمُصَلِّي فِيهِمَا
وَالنَّهَارُ لِمَا كَانَ مَحَلَّ الشَّوَاغِلِ وَاْلاِخْتِلاَطِ بِالنَّاسِ
طُلِبَ فِيهِ الْإِسْرَارُ لِعَدَمِ صَلَاحِيَّتِهِ لِلتَّفَرُّغِ لِلْمُنَاجَاةِ،
وَأُلْحِقَ الصُّبْحُ بِالصَّلَاةِ اللَّيْلِيَّةِ لِأَنَّ وَقْتَهُ لَيْسَ
مَحَلاًّ لِلشَّوَاغِلِ (إعانة الطالبين، ج 1 ص 179، دار ابن عصاص
Perkataan
Mushannif, (disunnahkan mengeraskan bacaan) meskipun kuatir riya’. Imam Ali
Syibramalisy berkata “Adapun hikmah mengeraskan bacaan pada tempatnya yaitu;
Bahwasanya malam itu waktu kholwat (menyepi) dan enak
dibuat ngobrol, maka disyari’atkan mengeras-kan bacaan untuk mencari nikmatnya
munajat seorang hamba kepada Tuhannya, dan dikhususkan pada dua rakaat pertama
karena semangatnya orang yang shalat berada di dalam dua rakaat tersebut.
Sedangkan
siang hari itu waktu sibuk dan berkumpul dengan manusia, maka dianjurkan
membaca dengan suara lirih karena memang waktu itu tidak nyaman digunakan
munajat. Adapun shalat shubuh disamakan dengan shalat malam, karena waktunya
bukan tempat sibuk”.
Dalam
Kitab Al-Muntaqo Syarah Muwatho’ (1/225) dijelaskan bahwa hukum
mengeraskan dan memelankan “melirihkan” (Jahr dan Sir) bacaan dalam sholat itu
sunnah.
المنتقى
– شرح الموطأ – (ج 1 / ص 252) وَقَدْ قَالَ الشَّيْخُ أَبُو الْقَاسِمِ إِنَّ
الْجَهْرَ فِيمَا يُجْهَرُ فِيهِ وَالْإِسْرَارَ فِيمَا يُسَرُّ فِيهِ مِنْ سُنَنِ
الصَّلَاةِ وَهَذَا مُقْتَضَى هَذِهِ الرِّوَايَةِ وَوَجْهُ الرِّوَايَةِ
الثَّانِيَةِ أَنَّ تَعَمُّدَهُ لِلْجَهْرِ لَا يُفْسِدُ صَلَاتَهُ لِأَنَّهَا
صِفَةٌ لِلْقِرَاءَةِ مَشْرُوعَةٌ فَلَمْ تَمْنَعْ صِحَّةَ صَلَاةِ الْإِمَامِ
وَإِذَا لَمْ تَمْنَعْ صِحَّةَ صَلَاتِهِ لَمْ تَمْنَعْ صِحَّةَ صَلَاةِ مَنْ
وَرَاءَه
Jika
seandainya ada orang Sholat Dzuhur atau Ashar dengan bacaan keras (jahr)
misalnya, atau Sholat Maghrib, Isya’ atau Shubuh dengan bacaan pelan (sir),
maka sholatnya tetap sah, hanya saja dia telah melakukan kemakruhan. Seperti di
sebutkan oleh imam Nawawi dalam kitabnya al-Adzkar. Wallahualam.
Seperti
itulah jawaban dari Ustad Mahfud yang sangat berkenaan dengan kejadian siang
ini. Jadi, shalatnya tetap sah hanya saja telah melakukan sesuatu hal yang
makruh. Alangkah baik jika kita mengikuti yang sudah lazim dikerjakan dan
menjadi jumhur ulama’. Kejadian mungkin terlihat sepele untuk dibahas, namun
apa salahnya untuk saling berbagi agar seseorang tidak mudah menjadi imam
shalat tanpa mengetahui tata cara menjadi imam.
Paiton, 27 Januari 2019
Komentar
Posting Komentar
Silahkan Berkomentar asalkan tidak meyinggung SARA dan tetap menjaga toleransi demi keharmonisan bersama