![]() |
Dok Istimewa |
Pada penghujung tahun, memang selalu ada moment-moment tertentu
yang dimeriahkan oleh setiap orang. Penuh dengan berbagai cerita yang dibangun
dalam kebersamaan. Secangkir kopi dan warna-warni lampu menjadi penghias
keindahaan kebersamaan tersebut. Terpaan angin menjadikan suasana semakin
romantisme. Suasana kembali berjalan dengan penuh syahdu.
Mungkin dalam mengakhiri tahun dan menyambut tahun baru, orang satu
dan yang lainnya tidak akan sama dalam memeriahkannya. Dari memeriahkan dengan
kembang api, pesta makanan, gema bershalawat, dan lain sebagainya. Semuanya
tergantung bagaiamana orang tersebut ingin memeriahkannya, dan tentunya dengan
adanya beberapa faktor yang mempengaruhi. Bisa jadi dari faktor lingkungan dan
selera tersendiri.
Bagi seorang santri sungguh mustahil jika memeriahkan pergantian
tahun dengan pesta kembang api dan sejenisnya. Mungkin yang bisa dilakukan
hanyalah pesta barakah dengan memperbanyak bershalawat. Jika tidak, bisa saja
dengan perbuatan baik lainnya yang sekiranya lebih banyak manfaatnya dari pada
mudharatnya.
Dipenghujung tahun 2018 ini, aktivitas santri yang berada
dilingkungan Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton Probolinggo, masih sama layaknya
hari-hari biasanya, karena memang tidak ada yang spesial untuk dirayakan.
Aktivitas mereka hanya berdiam diri di dalam Pesantren dengan kebiasaan yang
sudah mendarah daging, seperti baca kitab, diskusi, hadiran jamaah, dan lain
sebagainya. Istilah penjara suci yang sering dikenal di kalangan santri
benar-benar telah mengurung para santri untuk tidak keluar dari pondok
pesantren.
Pada malam tahun baru 1 januari 2019, puluhan santri yang di
dominasi oleh mahasiswa di lingkungan Pondok Pesantren Nurul Jadid mengikuti
Istighasah dan Kuliah Tasawuf di Mushallah Timur Riyadhus Shalihin. Acara ini
digelar oleh Pondok Mahasiswa Universitas Nurul Jadid (UNUJA) Paiton yang
mengangkat tema “Muhasabah al-Nafs”.
Acara ini digelar dengan harapan dapat menjadi moment perantara
untuk dapat mengevaluasi diri pada penghujung tahun 2018. Berlangsungnya acara
ini dihadiri oleh Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Jadid, KH Zuhri Zaini, BA,
yang sekaligus sebagai penyaji kuliah tasawuf tersebut. Beliau banyak memberikan motivasi agar para
santrinya dapat mengevaluasi diri pada penghujung tahun agar kedepannya jauh
lebih baik.
Dalam awal penyampainya, K Zuhri menyampaikan bawa hidup itu
bagaikan berdagang karena sama-sama mencari untung. Modalnya adalah umur. Jika
masih ada umur tersisa, maka akan ada kesempatan untuk hidup yang beruntung.
Karena manusia yang beruntung itu adalah manusia yang lebih baik dari hari
sebelumnya. Jika hidupnya sama saja dengan hari kemarin, maka orang tersebut
dikatakan rugi. Dan jika harinya lebih buruk dari hari kemarin, maka dia
termasuk orang yang terlaknat.
K Zuhri menuturkan agar kita dapat mengevaluasi diri kita sendiri
sebelum datang pengevaluasian dari orang lain dan dari Allah Swt. Dari
penyampaian ini, mengandung arti bahwa kita sebagai manusia bukanlah makhluk
yang sempurna. Dalam kesehariannya penuh dengan salah dan dosa. Maka dari
kelemahan itu, manusia harus banyak mengevaluasi diri agar tahu dan mengerti
apakah yang dilakukannya sudah benar atau masih belum benar. Tetapi, jika kita
hanya bertingkah sembarangan, tidak melakukan evaluasi, maka siap-siaplah untuk
dievaluasi orang lain yang berupa caci maki dan lain sebaginya.
Selain itu, jika kita tidak membiasakan evaluasi diri, maka
evaluasi itu akan datang dari Allah SWT. Entah itu pengevaluasian yang datang
di dunia maupun nanti di akhirat. Tentunya, akan lebih baik jika membiasakan
mengevaluasi diri sebelum datangnya evaluasi dari orang lain dan tuhan.
Dalam melakukan evaluasi diri, seseorang harus tahu akan posisinya.
Posisi yang dimaksud disini adalah tentang tingkah laku perjalanannya. Apakah
jalan yang kita tempuh itu sesuai dengan jalan yang benar? Apakah jalan yang
kita tempuh itu menyimpang dari jalan yang benar? Atau bahkan malah
membelakangi dari jalan yang benar?
Menurut K Zuhri, seseorang harus lebih dahulu mengetahui posisi
tersebut sehingga dalam melakukan evaluasi diri akan lebih baik pelaksanannya.
Jika hasil evaluasi tersebut masih jauh dari kata sempurna atau jalan yang
ditempuh masih salah, maka kembalilah ke jalan yang benar. Caranya adalah
dengan menyesuaikan hidup dengan pedoman-pedoman yang sudah Allah SWT ajarkan
pada Utusannya dan dalam Kitab sucinya.
Beliau menganalogikan pedoman hidup dengan salah satu produk buatan
manusia. Contohnya handphone atau laptop. Biasanya jika barang ini dibeli dalam
keadaan baru, dalam kardusnya akan tersedia pedoman pemakaian. Jika pengguna
dapat taat dengan pedoman yang sudah disediakan, maka umur handphone atau
laptop tersebut akan awet. Seorang penggunanya akan semakin lama dapat
menikmati kegunaan barang tersebut. Menurut beliau sama dengan manusia. Manusia
harus patuh dan taat pada utusan dan kitab sucinya agar kehidupannya tidak
banyak melenceng dan akan selamat dunia akhirat.
Melakukan evaluasi diri tentu tidak hanya pada penghujung tahun,
namun setiap waktu harus ada perenungan tersendiri. Takutnya malah tambah
banyak salah dan dosa yang sudah dikerjakan kalau hanya menunggu moment tahun
baru. Melakukan evaluasi tidak hanya sebatas evaluasi itu sendiri, tetapi harus
segera ada tindak lanjut dengan pelaksanaan taubat.
Memperbanyak evaluasi diri dan yang ditindak lanjuti dengan taubat
akan membuat orang tersebut lebih baik kedepannya. Karena disebutkan oleh Imam
Ghazali dalam kitabnya Bidayatul Hidayah bahwa celaka bagi orang yang tidak
punya ilmu, ia akan jatuh pada jurang keburukan. Tetapi lebih celaka bagi orang
yang punya ilmu namun ia tidak dapat menggunakannya dengan baik, ia punya akan
beban.
Mengevaluasi diri untuk kembali ke kebaikan memang tidak mudah.
Akan ada banyak hambatan dan godaan yang akan menghalanginya. Karena didawuhkan
oleh K Zuhri, bahwa kebaikan itu ibaratkan jalan yang mendaki atau tanjakan.
Untuk menuju titik kebaikan akan sangat berat, medannya yang akan dihadapi akan
cukup sulit dengan berbagai tantangan.
Berbeda dengan kejelekan, jalannya menurun. Jadi, ibarat motor,
meskipun tidak tidak dinyalakan mesinnya akan tetap bergerak turun. Memang
begitulah, jalan kebaikan selalu dibarengi dengan kenikmatan dan kenyamanan
semata. Sehingga banyak orang tertipu dengan hal yang demikian. Fenomena
kebaikan dan kejelekan ini sesuai dengan yang tertera dalam kajian kitab
Minhajul Abidin yang beliau ampu sendiri.
Putra pendiri Nurul Jadid ini menyebutkan kendala bagi jalan
kebikan, yaitu nafsu dan lingkungan. Pertama nafsu. Nafsu memang tidak
dapat membedakan antara yang baik dan buruk. Ia hanya mengenal hal-hal yang
enak atau nyaman. Dari itu mengapa hal-hal yang enak atau nyaman itu sangat
dilarang. Tetapi dibalik itu, manusia sudah dikarunia otak sebagai alat
pengimbangnya. Dengan keselarasannya nafsu dan otak, kehidupan manusia akan
berjalan sesuai alurnya.
Kedua, lingkungan. Lingkungan
juga menjadi faktor penentu baik buruknya seseorang. Maka dari itu, seseorang
harus mempunyai daya tolak untuk menolak godaan yang sering terjadi di
lingkungan sekitar. Seperti halnya ikan di laut, meskipun hidup dilingkungan air
asin, ia dapat menolaknya sehingga dagingnya tetap tawar. Dari itu perkuatlah
daya tahan kita agar tidak mudah digoyahkan oleh berbagai godaan yang
menghampiri.
Akhirnya, beliau mengharap agar kehidupan kita semua dapat jauh
lebih baik kedepannya. Sesuai dengan alur pada pedoman yang diajarkan oleh
utusan dan kitab suci al-qur’an. Diberikan kemampuan dan keistiqamaan untuk
bermujahdah, memerangi nafsu, dan berriyadah. Sehinggan semuanya dapat menempuh
hidup bahagia yang selamat duni dan akhirat. Aamiin Allahumma Aamiin…..
S E L A M A T T A H U N B A R U 2 0 1 9
Komentar
Posting Komentar
Silahkan Berkomentar asalkan tidak meyinggung SARA dan tetap menjaga toleransi demi keharmonisan bersama