![]() |
Dok pribadi |
Orang
tua dan guru tidak ingin melihat seorang generasinya tidak patuh terhadap
peraturan yang ada. Sehingga berbagai cara dilakukan untuk membentengi semua
itu agar tidak terjadi pada generasinya. Dari kecil kita sudah diajarkan ilmu
agama dengan disekolahkan dan mengaji di Pesantren. Selain itu, dirumah juga diterapkan
bagaimana cara memegang sesuatu dengan tangan yang bagus, cara memberi dan
menerima dengan tangan bagus. Begitu pula bagaimana cara kita menempatkan
sesuatu pada tempatnya.
Sejak
kecil, saya pernah nyantri di kampung tempat saya dilahirkan. Giligenting nama
tempatnya. Tepatnya di Nurul Hikmah yang pada saat itu diasuh oleh Alm. K
Dasuki Bin Amidin saya belajar agama. Beliau seringkali bahkan setiap
berpapasan dengan santrinya selalu dan selalu mengajarkan akhlak yang baik.
Modal beliau tidak hanya bahasa lisan, tetapi menerapkan pada dirinya sendiri
agar mudah untuk diteladani oleh santrinya.
Beliau
sebagai kyai yang mempunyai santri lumayan banyak mempunyai sebuah harapan agar
santrinya patuh terhadap orang tua, guru, agama, dan pemerintah. Ada sebuah
dawuh yang sering beliau lontarkan ketika Morok (red, Mengajari) santrinya atau ketika
ada santrinya yang melanggar. “Padhena embi’ kacang, esabe’ e adhek nganyok
mon sabe’ ebudhi cekka’.” Itulah kata yang selalu beliau sampaikan.
Dawuhnya
beliau itu tidak serta merta disampaikan kepada santrinya, tanpa ada makna yang
tersirat didalamnya. Saya sendiri sebagai santrinya sering memikirkan apa
maksud dari dawuhnya itu. Tetapi pikiran saya pada saat itu masih belum
menangkap makna dari dawuh itu. Baru saya sadari ketika saya sudah menjadi
santri alumni nurul hikmah dan ketika beliau sudah tidak lagi berada di dunia
ini.
Hal ini saya sadari ketika melihat banyak postingan di berbagai media sosial yang sudah tersebar begitu luasnya. Ada banyak postingan yang memperlihatkan adanya orang atau oknum-oknum yang tidak patuh terhadap orang tua, guru, agama, dan pemerintahan. Ada kejanggalan yang mendarah daging sehingga sekelompok orang tersebut dengan mudahnya membantah pembicaraan.
Dari
kejadian-kejadian seperti ini baru saya sadari dan temukan makna tersirat dari
dawuh Alm guru saya tersebut. Jadi, beliau itu mengibaratkan bahwa orang-orang
yang tidak patuh pada peraturan itu sama dengan
seekor binatang yang tidak berakal. Ketika ditempatkan dibelakang ia
hanya berdiam diri dan bersikap apatis terhadap peraturan. Ketika ditempatkan
didepan, ia memberontak terhaadap peraturan yang ada.
Sangat
membekas sekali dalam ingatan saya ketika beliau berdawuh seperti itu. Sangat
berdosa sekali pada waktu beberapa tahun silam itu saya tidak bisa menanggapi
serius dawuh beliau. Saya hanya bisa berfikir “Aduhhh apa hubungannya yaa
antara kita dengan binatang yang beliau dawuhkan itu?”. Hanya itu yang bisa
saya katakan pada saat beliau berdawuh seperti itu.
Ternyata
dibalik dawuhnya itu mengandung arti yang sangat besar. Bukan berarti beliau
menyamakan kita sebagai santrinya dengan seekor binatang, tapi kita sendiri
yang sering kali tidak bisa menempatkan diri sebagai manusia. Manusia yang
benar-benar manusia adalah dia yang bisa patuh dengan cara menempatkan sesuatu
pada tempatnya. Peraturan ditaati sebagaimana mestinya bukan malah disikapi
acuh tidak acuh.
Sudah
semestinya kita sebagai manusia yang berakal memposisikan diri sebagaimana
manusia itu sendiri. Menggunakan akal sebagai karunia tersebar tuhan untuk
membedakan dengan makhluk lain yang tidak sesempurna manusia. Dengan akal yang kita punyai, seharusnya bisa
berfikir untuk lebih bertingkah lebih baik. Mengikuti apa-apa yang menjadi
wejangan dari orang tua, guru, agama, dan pemerintah.
Tidak
ada yang perlu untuk diseriuskan sehingga kita sering membangkang akan
peraturan dari orang tua, guru, dan lain sebagainya. Mereka tidak mungkin
memberi wejangan yang akan menjatuhkan kita ke jurang kegelapan. Bahkan mereka
akan menolong dan membangkitkan serta menydarkan kita untuk bisa menjalani
kehidupan sesuai alur yang baik menurut agama dan pemerintah.
Untuk
semua orang yang masih tidak bisa memposisikan manusia yang berakal, berarti
dalam dirinya masih berakar kuat sifat hewan yang tidak mengerti pembicaraan
orang lain. Maka dari itu apakah kita sudah bisa taat pada peraturan? Taat pada
orang tua, guru, agama, dan pemerintahan? Renungkan itu semua dengan baik agar
kita tidak salah mengambil lamgkah.
*****
*Tulisan ini saya persembahkan untuk mengenang jasa Alm. K. Dasuki bin Amidin yang semoga mendapatkan tempat yang baik disisi sang maha
pencipta. Tidak lupa untuk Pengasuh Nurul Hikmah sekarang (K Suryono) dan
seluruh keluarga pengasuh bisa membawa Pesantren tercinta untuk lebih baik. Semoga
kita sebagai santrinya, alumni, simpatisan dan semua yang pernah kenal dengan
beliau mendapatkan teladan yang baik untuk bisa menjalani kehidupan yang lebih
bermakna. Al-fatihah …..
Komentar
Posting Komentar
Silahkan Berkomentar asalkan tidak meyinggung SARA dan tetap menjaga toleransi demi keharmonisan bersama