"Mungkin pertemuan hari ini sampai disini saja. Semoga ada
manfaatnya. Saya akhiri Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh"
Jelas dosen sebagai pertanda perkuliahan selesai. Akupun keluar dan
menuju mushalla karena hampir memasuki adzan dzuhur.
Sembari
menunggu datangnya adzan dzuhur tiba, aku membaringkan tubuhkku yang
sudah lelah dengan berbagai masalah. Angin datang cukup bersahabat
dengan keadaan yang membuat gerah. Lelah dan angin yang sepoi-sepoi
hampir membuatku terlelap. Tapi ada sesuatu yang mengagetkan datang dari
dalam saku bajuku.
Klung...klung...klung.
bunyi handphoneku sebagai pertanda ada pesan masuk di Whatsapp. Kulihat
handphoneku, ternyata dari teman kelasku. "Aku pengen nangis" isi
pesannya. Aku yang membaca itu seakan bingung, kenapa ia ngirim itu
padaku, kenapa tidak langsung nangis aja malah bikin status dulu.
Aku
mencoba meresponnya, siapa tahu ada masalah yang menerpanya. "Ehhh
kenapa kok mau nangis?" Responku. Brrrr hp nya malah pending. Setelah
kurang lebih 15 menitan, ia baru meresponnya. "Aku gagal, aku
benar-benar gagal hari ini, aku gagal presentasi". Tampaknya ia merasa
sangat menyesal karena presentasinya yang dianggap gagal.
Dengan
penuh percaya diri, aku mencoba mensihatinya agar dia tidak lagi
menangis karena kegagalannya "Kamu tidak gagal, kamu sudah bagus
presentasinya. Hanya saja mungkin ada kalimat yang kamu kurang pahami
mengenai materi". "Ini semua kelalaian saya" balasnya. Aku hanya bisa
menggelengkan kepala ketika posisnya dia kayak gitu.
Tapi
sebagai sahabat yang baik, aku tetap mencoba menasihatinya agar ia bisa
tersenyum kembali. "Kayaknya kamu tidak lalai selama ini. Perlu kamu
ingat, manusia itu tidak ada yang sempurna tapi kita butuh proses untuk
mendekati smpurna itu. Kamu itu sdah berproses, jadi jangan terlalu
berfikir berlebihan gitu" nasihatku agar ia tidak larut dalam tangisnya.
Ternyata ia masih merasa sangat gagal "Materinya amburadul, aku hanya
monoton saja, sehingga tampaklah kebodohanku pada presentasi itu. Aku
gagal" jelasnya.
Dengan pikiran yang terus
diputar, aku berusaha terus menasihatinya sebagaimana orang tua kepada
anaknya yang tidak mengenal lelah. "Ayolah jangan menangis, anggaplah
hal itu sebagai koreksi pada perjuanganmu selanjutnya. Tersenyumlahh"
pintaku. "Baiklahh, aku mau senyum kembali" balasnya. Dengan perasaan
lega aku menjawab "Nah gitu dong. Tapi jangan kasih senyum yang
terpaksa, gak baik
"
"Siap.
Terima kasih saya sudah mau mendengarkan curhatanku dan telah
memberikan motivasi. Jangan pernah lelah menjadi sahabtku yang mengerti"
dengan emoticon yang sudah berubah senyum ia menjawab demikian. Aku
turut senang karena dia sudah mau tersenyum. "Siap senior, kamu juga
jangan pernah lelah ya" pintaku balik padanya.
"Ya
sudahlah, ini sudah larut malam. Tidurlah dan tenangkan pikiranmu. Aku
mau melihat kamu tersenyum kembali, aku tunggu senyum itu besok di
kampus" tambahku padanya. "Oke siap, terima kasih ya" jawaban
terakhirnya
*****
Keesokan
harinya, aku kembali beraktivitas sebagai mana mestinya. Sebelum jam
perkuliahan dimulai, aku sudah stand by di kampus. Menikmati udara pagi
yang masih tidak tercampur dengan apapun.
Aku
beranjak dari tempat yang aku duduki sebelumnya. Hingga di perjalanan
aku menemukan dia dengan teman-temannya. Dengan ragu, aku mencoba
menyapanya. Terbentuklah senyum di wajahnya sembari menjawab sapaanku.
Aku berharapnya senyumnya adalah senyum aslinya bukan karena menutupi
permasalahannya.
Cukup lega melihat dia
tersenyum kembali. Aku tidak mau ada teman yang mempunyai masalah dan ia
harus menanggungnya sendiri. Gunanya kita mengikat sahabat adalah untuk
selalu ada ketika bahagia dan menangis.
"Inilah hidup, semua butuh proses. Kadang harus jadi limbah terlebih dahulu sebelum menyandang nilai tinggi". AR
Komentar
Posting Komentar
Silahkan Berkomentar asalkan tidak meyinggung SARA dan tetap menjaga toleransi demi keharmonisan bersama