Langsung ke konten utama

Belajar Menulis Fiksi bagi Pemula

Dok Google

Saya percaya betul bahwa siapa pun bisa menjadi penulis! Tetapi syarat mutlak yang dibutuhkan harus dipenuhi: 5% kerja keras, 5% kerja keras, dan 90% kerja keras! Menulis itu adalah menulis itu sendiri. Segala macam tutorial manulis apa pun kagak bakal pernah menjadikanmu penulis jika kamu tidak pernah menulis itu sendiri.

Menjadi penulis adalah pilihan luar biasa: cerdas, kreatif, interpretatif, dinamis, dan mampu mempengaruhi opini dan bahkan prinsip hidup pembacanya. Karena luar biasa, tentu tidak begitu banyak orang yang bisa begitu. Bedanya yang luar biasa dengan biasa tentu saja, salah satunya, adalah kesedikitannya itu. Ini sama pula dengan semua pilihan “menjadi” lain-lainnya yang sedikit itu tadi. Setidaknya, ada 3 “kelebihan” menjadi penulis:

Pertama, mampu berfikir “tidak biasa”. Kedua, mampu berfikir logis dan sistematis. Ketiga, mampu menciptakan interpretasi (penafsiran).

1.      Alur Cerita
Alur cerita adalah jalannya cerita. Apa pun bentuknya, sebuah fiksi harus memiliki jalan cerita. Apa pun! Alur cerita ini bebas saja bentuknya, biasa alur maju (dari A-Z), alur mundur (flashback, dari Z-A), atau alur maju mundur (jangan ngeres lo!). Semuanya bisa menjadi pilihan satu-satu atau bahkan gabungan sekaligus. Bebas! Intinya adalah kamu harus menciptakan alur cerita.

2.      Setting/Latar Cerita
Setiap cerita selalu membutuhkan latar yang menjadi tempat ia hidup. Apa pun dan bagaimana pun latar itu diciptakan, entah itu nyata atau imajiner dan fantasi, latar itu harus ada. Latar bukan hanya lukisan tentang tempat. Bukan! Latar juga mencakup suasana emosi yang terbangun dalam tokoh-tokoh itu, karenanya latar bisa dibangun dengan model narasi dan dialog pula.

3.      Penokohan
Di dalam cerita, tentu wajib hukumnya untuk ada tokoh-tokoh. Tokoh utama hingga tokoh sembilan. Semua tokoh ini harus diciptakan karakternya. Dari watak sampai kebiasaan harian atau pun fashion-nya. Posisi peran setiap tokohnya pun harus terang dalam ceritamu. Itulah yang disebut dengan penokohan. Semua penokohan ini harus diciptakan oleh penulis secara konsisten dan logis. Kalaupun di bagian tengah atau akhir kok ada perubahan terhadap penokohan seorang tokoh, maka tetap harus ada penjelasan cerita yang logis yang menjadi sebab terjadinya perubahan karakter tokoh itu.

4.      Konflik
Konflik, ya, setiap cerita harus ada konflik ceritanya. Tanpa konflik, cerita yang kamu buat meskipun sudah berhasil membangun alur, latar, dan penokohan, akan terasa sangat datar bin garing bin anyep kayak jomblo akurat. Konflik sesungguhnya merupakan jantung dari dari sebuah cerita. Berdasar konflik yang dibangun bisa dari awal langsung atau mengalir landai, bangunan ceritamu dibangun kan. Maka kemamppuanmu mambangun titik konflik yang mendidih akan benar-benar menjadi jantung dari bagus/tidaknya tulisanmu.

5.      Ending
Apakah ending harus selalu ada? Tidak juga sih. Tetapi saya sengaja memasukkan aspek ending ini dibagian ini dalam rangka untuk membuatmu mengerti bahwa setiap cerita tentu akan memiliki akhirnya. Sekalipun kamu menulis novel romance dewasa setebal 500 halaman, tetap saja akan ada akhirnya. Akhir itulah yang saya maksudkan sebagai ending. Ending karenanya tidak harus berupa “akhir cerita tokoh”. Tidak. Jangan salah paham ya.

Ending tidak mesti berupa mati atau bahagia. Menikah. Punya anak. Kaya raya! Basi itu. Bukan itu. Ending pun tidak harus ada di akhir bagian novelmu. Bisa ada di mana saja, misal di depan atau tengah, dengan catatan (jika kamu bereksperimen model begini) kamu harus mampu memelihara alur dan logikanya dengan kuat dan baik.

SELAMAT BERKARYA

*****
* Tulisan ini disampaikan oleh Amir Fiqih Alumni MTs Al-Hasan Giligenting Sumenep yang saat ini sedang menempuh kuliah di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada acara Pesantren Kilat MTs Al-Hasan 27 Juli 2013

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Strategi komunikasi dalam membangun jaringan (berpikir strategis dan bertindak taktis)

  Perjalanan panjang dalam dunia kampus, banyak orang yang mengikrarkan dirinya sebagai mahasiswa, tentu tidak akan lepas dengan berbagai persoalan, baik internal maupun eksternal. Faktor internal bisa dikategorikan dengan kurang keberanian pada diri sendiri, keluarga yang kurang mendukung, dan lingkungan yang kurang bersahabat. Sedangkan eksternal bisa terjadi pada semua   persoalan yang ada dalam dunia akademik, seperti kurang respect terhadap orang baru, sulit mencerna dunia luar, dan lain sebagainya. Persoalan yang sedemikian banyak, sudah tidak bisa dihitung dengan jari, ternyata cukup mampu ditepis dengan keaktifan di organisasi. Kehadiran organisasi sebagai salah satu pilihan bagi mahasiswa untuk mengembangkan dirinya, sudah tidak perlu diragukan. Mulai dari tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi, mucul banyak organisasi dengan latar belakang kemunculan dan tujuannya, diperkenalkan kepada kita sebagai elemen dari instansi pendidikan tersebut. Di era sekarang, yang penu

Catatan untuk seorang perempuan yang berani berdiri diatas kakinya sendiri

Kartini, sosok perempuan hebat masa lalu Nama dan perjuangannya adalah sesuatu yang baru Perempuan cerdas dalam pusaran orang-orang yang tidak tahu Bergema, menentang budaya dan aturan yang kaku   Jiwanya memberontak terhadap sejarah yang mulai membeku Berdiri dan berlari, melawan arus untuk lebih maju Semuanya merupakan warisan besar untuk perempuan abad 21 Untuk itu, sebuah refleksi, apakah kita mampu untuk meniru   Perempuan abad 21, harus banyak memberi kontribusi Di kala semua orang terpaku pada ajaran yang sudah basi Perempuan layaknya kartini yang selalu menginspirasi Cahaya terang untuk semua kalangan lintas generasi Ia yang tidak mudah untuk didominasi oleh para laki-laki   Karya, adalah modal utama perempuan masa kini Cerdas dan visioner adalah sebuah visi Akhlakul karimah sebagai penunjang untuk lebih mumpuni Menuju perempuan berdaya dan mandiri yang punya harga diri Layaknya seorang ibu bernama kartini   Wahai para kartini baru, j

Perjuangan Perempuan Di Ranah Domestik Dalam Pandangan Feminisme Eksistensial Simone De Beauvoir

simone de beauvoir Perjuangan perempuan untuk menuntut hak-hak mereka sebagai manusia seutuhnya merupakan perlawanan terhadap pembagian kerja yang menetapkan kaum laki-laki sebagai pihak yang berkuasa dalam ranah publik. Maka dari itu, munculah feminisme sebagai gerakan sosial yang pada mulanya berangkat dari asumsi bahwa pada dasarnya kaum perempuan ditindas dan dieksploitasi, di mana melaluinya pula (feminisme) perempuan berusaha untuk mengakhiri penindasan dan eksploitasi tersebut. Feminisme menyoroti politik seksualitas dan domestik baik pada level personal maupun level publik. Gerakan perempuan secara perlahan tumbuh menjadi suatu kekuatan politik yang besar, menyebar ke seluruh Eropa dan Amerika Utara, dan kemudian melahirkan aliran feminis radikal yang memperjuangkan aspirasinya melalui jalur kampanye serta demokrasi untuk membangun ruang dan kebudayaan perempuan. Selanjutnya, feminis sosialis lebih menekankan pada pembangunan aliansi dengan kelompok-kelompok dan kelas-kelas t